SEJAK 28 September 2016, dua hari menjelang 30 September, sebagian bangunan tergusur di kawasan Bukit Duri sudah rata dengan permukaan bumi. Bukit Duri memang telah tiada, namun kisah perjuangan warga Bukit Duri termasuk di antaranya sang pejuang kemanusiaan dari Jeneponto, Sandyawan Sumardi akan kekal-abadi dikenang sampai akhir zaman oleh mereka yang masih memiliki sisa-sisa nurani dan sanubari kemanusiaan.
Saya bukan warga Bukit Duri namun sekedar saksi hidup bagaimana warga Bukit Duri telah gigih berjuang mewujudkan semangat ahimsa, Mahatma Gandhi menjadi kenyataan. Sanubari warga Bukit Duri memang remuk rendam dan darah mendidih ketika harus menyaksikan rumah atau lebih tepatnya disebut sebagai gubuk mereka masing-masing secara sepihak dan paksa dibongkar oleh para petugas Satpol PP kemudian dihancur-leburkan dengan alat berat bak raksasa dahsyat padahal Bukit Duri masih resmi dalam proses hukum oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan PTUN Jakarta Selatan.
Namun warga Bukit Duri walaupun harus dengan curahan air mata mengikhlaskan diri untuk dipaksa menjadi tumbal pembangunan tanpa sedikit pun melakukan kekerasan ragawi mau pun verbal.
Dengan menempuh jalur hukum, Warga Bukit Duri membuktikan diri mereka adalah rakyat yang taat hukum , bukan penguasa yang melanggar hukum. Warga Bukit Duri membuktikan diri mereka memahami makna sukma ahimsa yang diwariskan oleh Mahatma Gandhi bahkan mewujudkannya ke dalam kenyataan sikap dan perilaku nyata.
Dengan memberikan bunga kepada para petugas Satpol PP yang sedang bersiap-siaga melaksanakan penggusuran terhadap Bukit Duri, warga Bukit Duri membuktikan diri mereka senantiasa berupaya mengejawantahkan ajaran kasih-sayang yang senantiasa bahkan niscaya terkandung di dalam sukma segenap agama di alam semesta.
Seorang petugas Satpol PP sambil giat menunaikan tugas penggusuran terhadap Bukit Duri, sempat berbisik kepada saya bahwa sebenarnya dia merasa kasihan terhadap nasib rakyat tergusur namun tetap harus melakukan penggusan selama dirinya masih merasa takut dipecat oleh atasannya. Perasaan iba juga saya lihat tampak tersirat pada wajah Kapolres dan Kepala SatpolPP provinsi Jakarta ketika mereka menyaksikan derita rakyat tergusur.
Biar bagaimana pun, saya yakin para penggusur adalah bukan robot namun manusia biasa yang masih memiliki sanubari dan nurani kemanusiaan dan keadilan. Maka sudah benar bahwa Gubernur Jakarta selalu tidak hadir pada saat penggusuran sedang dilakukan terhadap rakyatnya. Sebagai sesama manusia mustahil apabila rasa iba bisa sama sekali lenyap dari lubuk sanubari masing-masing apalagi pada saat menyaksikan penderitaan sesama manusia dikorbankan oleh sesama manusia.
Saya juga saksi hidup terhadap perjuangan warga Bukit Duri mewujudkan sukma keluhuran yang tersirat di dalam hadits indah berkisah tentang Al Sukuni meriwayatkan dari Abu Abdillah Al Shadiq bahwa ketika Nabi Muhammad SAW menyambut pasukan sariyyah kembali setelah memenangkan peperangan, Beliau bersabda: "Selamat datang wahai orang-orang yang telah melaksanakan jihad kecil tetapi masih harus melaksanakan jihad akbar!’ Ketika orang-orang bertanya tentang makna sabda itu, Rasul SAW menjawab: "Jihad kecil adalah perjuangan menaklukkan musuh. Jihad akbar adalah jihad Al-Nafs, perjuangan menaklukkan diri sendiri!"
Telah terbukti bahwa warga Bukit Duri mau dan mampu menghayati makna yang terkandung di dalam hadits
jihad al nafs nan indah itu. Dengan segala kekuatan, kesewenangan dan kekuasaan yang mereka miliki, memang pihak penguasa telah terbukti mampu menaklukkan rakyat, sementara dengan segala kekurangan, kesederhanaan, keterbatasan, dan ketidak-berdayaan yang mereka miliki, warga Bukit Duri telah terbukti mampu menaklukkan diri mereka sendiri! Hiduo Bukit Duri. [***]
Penulis adalah sahabat warga Bukit Duri