SEMULA saya ingin berhenti menulis keberpihakan kepada rakyat tergusur sebab setelah ekskalasi protes berbagai pihak dan dewan hakim menerima gugatan rakyat tergusur di Bukit Duri dan Bidara Cina, tampaknya Pemprov DKI Jakarta berkenan menghentikan penggusuran. Namun mendadak koran Rakyat Merdeka secara mencolok di halaman pertama edisi 24 Agustus 2016 gegap-gempita memberitakan bahwa pemerintah provinsi Daerah Khusus Istimewa Jakarta akan melakukan penggusuran di tidak kurang dari 325 lokasi di ibukota negara Indonesia.
Berita besar tersebut jelas sangat mengejutkan sanubari saya yang baru mulai berhasil menenteramkan diri . Maka saya tidak bisa menahan diri untuk kembali menulis keberpihakan kepada rakyat tergusur yang tidak ikhlas dirinya digusur. Namun berdasar pengalaman masa lalu , saya perlu menyesuaikan tulisan saya dengan kenyataan sikap mereka yang mendukung penggusuran rakyat. Sudah cukup lelah saya menjelaskan alasan rakyat tidak mengikhlaskan dirinya digusur padahal Pemprov DKI Jakarta sudah berbaik hari menawarkan rumah susun meski rumah susun berdasar sewa dengan kontrak maksimal dua tahun.
Saya juga sudah putus asa menjelaskan bahwa di samping uang sewa, mereka yang dipindah ke rumah susun berbasis sewa maksimal dua tahun juga masih wajib memikul biaya sampingan lain-lainnya seperti biaya perawatan kebersihan, biaya keamanan, biaya listerik dan air, dan entah apa lagi.
Terlepas dari urusan dana, secara psikologis juga tidak semua warga setuju dirinya dipindah ke rumah susun semewah apa pun sebab tidak terbiasa hidup di rumah bersusun-susun. Mengenai dampak kehilangan sumber nafkah akibat dipaksa pindah ke rumah susun tampaknya memang sulit dimengerti oleh mereka yang tidak sadar akibat belum pernah hidup di permukiman kumuh bahwa permukiman sekaligus menjadi tempat mencari nafkah. Pendek kata memang banyak alasan untuk tidak mampu dan tidak mau mengerti kenapa sampai ada rakyat yang tidak mau digusur padahal disediakan rumah susun.
Terlepas dari urusan dana, secara psikologis juga tidak semua warga setuju dirinya dipindah ke rumah susun semewah apa pun sebab tidak terbiasa hidup di rumah bersusun-susun. Mengenai dampak kehilangan sumber nafkah akibat dipaksa pindah ke rumah susun tampaknya memang sulit dimengerti oleh mereka yang tidak sadar akibat belum pernah hidup di permukiman kumuh bahwa permukiman sekaligus menjadi tempat mencari nafkah. Pendek kata memang banyak alasan untuk tidak mampu dan tidak mau mengerti kenapa sampai ada rakyat yang tidak mau digusur padahal disediakan rumah susun.
Seharusnya rakyat jangan menentang namun mendukung sambil mensyukuri penggusuran terhadap diri mereka karena tujuan niat pemerintah justru sangat luhur yaitu ingin menyejahterakan rakyat miskin. Tidaklah heran apabila keberpihakan ke rakyat tergusur justru dianggap sebagai subversi perlawanan terhadap kebijakan pemerintah. Keberpihakan kepada rakyat tergusur dihujat sebagai sekadar kosmetik alias kedok untuk menutupi tujuan buruk memancing di air keruh.
Para pembela rakyat tergusur dituduh sebagai mafia tanah yang memanipulasi harga tanah demi kepentingan angkara murka keserakahan komersial. Bahkan membela rakyat tergusur dihujat sebagai pencitraan murahan demi mendongkrak popularitas diri agar sukses di pilkada 2017. Saya pribadi tidak memiliki pamrih komersial, popularitas atau kekuasaan apa pun kecuali rasa iba melihat nasib rakyat tergusur. Maka saya tidak melibatkan diri ke dalam kemelut perdebatan pro-kontra penggusuran namun sekadar dengan penuh kerendahan hati memberanikan diri untuk memohon kepada pihak yang berwenang melakukan penggusuran untuk berkenan bermurah hati dan berbelas kasihan kepada rakyat di 325 lokasi di ibukota Indonesia yang terancam kebijakan penggusuran.
Kami memohon Pemprov DKI Jakarta bukan menghentikan pembangunan namun sekadar agar Pemprov DKI Jakarta berkenan melakukan musyawarah-mufakat dengan rakyat sebelum melakukan penggusuran. PBB sudah menyatakan bahwa pada hakikatnya pembangunan dapat tetap dilakukan tanpa mengorbankan lingkungan hidup, sosial, budaya apalagi rakyat. Apabila pihak yang berwenang berkenan mengabulkan permohonan saya maka jelas saya sangat berterima kasih meski tidak mampu berbuat banyak untuk membalas budi baik pihak yang berwenang kecuali memanjatkan doa agar Yang Maha Kasih berkenan senantiasa melimpahkan Rahmat dan KurniaNya kepada mereka yang berkenan berbelas kasih kepada rakyat tergusur. AMIN
[***]