Tidak ada istilah ragu. Itulah kata kunci yang disampaikan Jaksa Agung M Prasetyo mengenai eksekusi mati terpidana gembong narkoba.
Penundaan eksekusi karena sejumlah terpidana narkoba meÂnempuh jalur hukum tak lazim. Yakni mengajukan keberatan penolakan grasi ke PTUNmauÂpun Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.
PK Mary Jane Veloso, terpiÂdana mati warga negara Filipina memang sudah ditolak. Tapi terpidana Duo "Bali Nine", yakni Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, warga negara Australia masih mem-PTUN-kan Keputusan Presiden. Sekarang menunggu keputusan PTUN. Begitupula dengan upaya hukum yang dilakukan Serge Areski Atlaoui adalah warga negara Prancis, dan Martin Anderson, warga negara Ghana.
Akibat dari penundaan ini, seÂjumlah kalangan mulai meragukan kredibilitas Jaksa Agung, karena penanganan eksekusi gembong narkoba kali ini tampak lebih lambat dari sebelumnya. Seperti mengulur-ulur waktu.
Beragam spekulasi muncul, mulai dari 'melembek-nya' pemerintah Indonesia terhadap lobi Australia, hingga dikhaÂwatirkan 'masuk angin' jika eksekusinya dibiarkan lama. Sebab pada dasarnya, acuan penolakan grasi oleh Presiden bagi gembong narkoba bisa dipakai Jaksa Agung untuk langsung melakukan eksekusi. Tanpa perlu menunggu proses hukum lagi.
Bagaimana yang benar duduk perkaranya? Berikut percakapan
Rakyat Merdeka dengan Jaksa Agung M Prasetyo melalui teleÂpon, Senin (30/3):
Kenapa nggak dieksekusi saja, bukankah penolakan grasi oleh Presiden bisa dijadiÂkan acuan?Tapi kan proses hukum seÂdang jalan. Nanti kalau kita laksanakan, kalian ngomong lagi, Jaksa Agung tidak mengÂhormati proses hukum. Ini kan serba salah.
Kita berusaha semaksimal mungkin untuk meminimalisir adanya masalah sekecil apapun. Mereka ajukan keberatan, ajuÂkan PK, dan lainnya. Semua proses hukumnya sedang jalan. Kan harus kita hormati dong.
Bukan karena mulai ragu-ragu?Siapa bilang kita ragu-ragu. Jangan dipikir kita ragu-ragu atau hanya di mulut saja. Apalagi dibilang kita akan menunggu acara KAA(Konferensi Asia Afrika) dan sebagainya. Tidak ada hubungannya dengan KAAatau segala macam. Masalahnya kan berbeda.
Jadi apa acuan Anda?Acuan kita adalah putusan penÂgadilan. Kalau PK, ya menunggu putusan Mahkamah Agung. Kalau PTUN, kita tunggu puÂtusan pengadilan. Kalau proses hukumnya sudah selesai, ya kita akan segera melaksanakan putusannya. Kan begitu.
Bukankah sudah ditolak PK-nya?Kan ada beberapa yang menÂgajukan PK. Memang sudah ada ditolak. Bahkan ada yang mengajukan gugatan PTUN, yakni Bali Nine itu. Coba tanya ke pengacaranya. Apa urusanÂnya dengan PTUN? Ini kan bukan putusan pejabat publik, ini adalah urusan yudikatif. Itu konstitusional.
Bukankah tidak ada upaya hukum lagi setelah grasi diÂtolak?Ya. Sebetulnya memang tidak ada lagi upaya hukum lain setÂelah grasi ditolak. Itu yang perlu ditanyakan kepada pengacarÂanya itu.
Apa nanti tidak masuk angin kalau kelamaan tidak dieksekusi?Masuk angin apanya. Saya nggak ada masuk angin. Eksekusi mati itu ditunda karena mereka mengajukan lagi PK dan PTUN. Makanya undang-undangnya dong harus diubah, PK kan nggak ada batas wakÂtunya.
Ini sedang kita harapkan suÂpaya PK itu ada batas waktunya. Kita sedang berusaha dengan baik, malah kalian sudut-sudutÂkan. Jangan dong.
Apa ada intervensi, sehÂingga eksekusinya ditunda?Kalau intervensi, silakan. Kita ini sudah biasa diintervensi. Tapi kami bergeming. ***