Berita

ilustrasi/net

Publika

Menunggu Kebesaran Jiwa Dua Kubu

KAMIS, 17 JULI 2014 | 07:43 WIB

PATUT tersenyum lega, akhirnya pemilu 9 Juli berjalan seperti didamba. Setidaknya jutaan rakyat Indonesia yang terbelah kedalam dua kubu akibat preferensi politik masing-masing tidak terpicu pada tindakan-tindakan anarkis. Mereka tak terpancing api permusuhan yang digelar para elit. Selagi kondisinya seperti ini, berarti kita telah memetik buah dari kedewasaan berdemokrasi.

Tetapi hasil keputusan KPU tentang siapa dari dua kubu yang perolehan suaranya lebih besar dan lebih kecil baru akan diumumkan tanggal 22 Juli 2014. Itu artinya masing-masing kubu dan seluruh rakyat Indonesia perlu bersabar menunggu hari itu. Mereka perlu mempersiapkan diri menghadapi kenyataan menang atau kalah, dua hal yang tak bisa dihindari dalam kompetisi ini.

Hari itu adalah puncak dari ujian kedewasaan kita berdemokrasi. Siapkah masing-masing bersikap ksatria dengan berbesar hati menerima kekalahan? Siapkah mereka tidak menunjukkan sikap arogansi dalam merayakan kemenangan demi menghormati kubu lainnya?


***
Jelang hari-hari menuju puncak penghitungan, keadaan memang tidak sepenuhnya bebas dari potensi kerusuhan. Alih-alih bersikap tenang, pendukung dari kedua kubu justru tiada henti saling hujat, adu fitnah, dan komentar yang saling memojokkan. Dengan kata lain, kedua kubu kian memperuncing keadaan dengan tindakan-tindakan tercela.

Bahkan keresahan ini memancing presiden SBY untuk bersikap tegas. Dia mengatakan "baik pasangan Prabowo-Hatta atau Jokowi-JK  dan tim (hendaknya) bisa menahan diri untuk tidak memunculkan ketegangan diantara kedua massa pendukung, apalagi gerakan-gerakan di lapangan yang sangat rawan terhadap konflik horizontal".

Apabila kedua kubu bersedia hati mengurangi tensi arogansi perseteruan dan membuka kelapang-dada-an jiwa dan keluasan pikiran untuk menyerap himbauan damai SBY, maka setidaknya beberapa keuntungan menyertai buah sikap itu. Pertama, tensi ketegangan dari dua kubu beserta efeknya kepada masyarakat di tingkat grassroot akan berkurang.

Kedua, keberhasilan mengurangi ketegangan politik diantara dua kubu dengan mengedepankan sikap damai kian menegaskan kedewasaan aktor-aktor politik negeri ini. Bukankah perseteruan politik kali ini banyak melibatkan tokoh-tokoh publik yang sebelumnya dikenal sebagai sosok negarawan, kelompok cendekiawan, akademisi, ulama dan para aktifis?

Dengan kata lain, mereka adalah aktor-aktor "istimewa" yang seharusnya memberi nuansa berbeda dalam perseteruan politik praktis ini. Dengan latar belakang seorang negarawan, aktifis, akademisi, maupun ulama, mereka memiliki kewajiban moral yang lebih besar untuk mengedepankan jalan damai daripada terus-menerus terjebak pada kemelut permusuhan politik diantara dua kubu. Mereka memiliki kewajiban moral untuk lebih mengedepankan bagaimana keutuhan persaudaraan dapat terjalin dan mengurangi tensi permusuhan antar kubu.

***

Oleh sebab itu, mereka tidak boleh terjebak pada pertarungan pragmatisme politik semata. Terlalu sempit apabila wawasan dan keluasan pikiran mereka tereduksi dan hanya tercurahkan demi memikirkan menang dan kalah. Jalan keberpihakan mereka kepada masing-masing kubu sebagai pilihan politik tidak boleh mengorbankan cita-citanya untuk memikirkan kebaikan yang lebih besar masa depan negeri ini.  Mereka harus tetap menjadi sosok "negarawan", yang dalam pandangan Thomas Jefferson, sebagai orang-orang yang lebih memikirkan (kebaikan) generasi masa depan daripada sosok "politikus" yang lebih mementingkan pemilihan yang akan datang.

Selagi mereka keukeuh menjaga watak kenegarawanannya, selagi mereka mampu menjaga keberpihakannya pada kebaikan bersama, maka potensi-potensi kericuhan, sebagai akibat kenyataan yang tak mungkin menguntungkan pada kedua kubu sekaligus, mungkin dapat terhindarkan. Selagi mereka mampu menempatkan diri dalam posisi dan sikap tersebut, maka mereka adalah harapan diantara kecemasan menunggu kepastian akhir penghitungan.

Sulaiman
Mahasiswa Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah & penggiat kelompok Kajian Sosiologi (Kasogi) dan Indonesian Culture Academy (INCA) Ciputat.


Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

Distribusi Bantuan di Teluk Bayur

Minggu, 07 Desember 2025 | 04:25

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

UPDATE

RUU Koperasi Diusulkan Jadi UU Sistem Perkoperasian Nasional

Rabu, 17 Desember 2025 | 18:08

Rosan Update Pembangunan Kampung Haji ke Prabowo

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:54

Tak Perlu Reaktif Soal Surat Gubernur Aceh ke PBB

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:45

Taubat Ekologis Jalan Keluar Benahi Kerusakan Lingkungan

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:34

Adimas Resbob Resmi Tersangka, Terancam 10 Tahun Penjara

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:25

Bos Maktour Travel dan Gus Alex Siap-siap Diperiksa KPK Lagi

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:24

Satgas Kemanusiaan Unhan Kirim Dokter ke Daerah Bencana

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:08

Pimpinan MPR Berharap Ada Solusi Tenteramkan Warga Aceh

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:49

Kolaborasi UNSIA-LLDikti Tingkatkan Partisipasi Universitas dalam WURI

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:45

Kapolri Pimpin Penutupan Pendidikan Sespim Polri Tahun Ajaran 2025

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:42

Selengkapnya