Berita

ilustrasi/net

Publika

Mengatasi Multi Tafsir UU Pilpres

SELASA, 01 JULI 2014 | 10:41 WIB

TULISAN ini saya mulai dengan sebuah adagium sederhana tentang sebuah demokrasi dan pemilihan umum. Adagium itu berbunyi "In a democracy the poor will have more power than the rich, because there are more of them, and the will of the majority is supreme.

Adagium ini setidaknya medeskripsikan kepada kita tentang betapa besarnya kekuatan rakyat dalam menentukan sebuah pemimpin, dalam beberapa teori kepemiluan khususnya di Indonesia, prinsip dukungan mayoritas mutlak menjadi dasar utama pemilu di Indonesia.

Jika mengacu pada landasan konstitusional maka dasar hukum pelaksanaan pilpres di Indonesia diatur dalam pasal 6A ayat (1) (2) (3) (4) (5) khusus untuk presiden terpilih diatur dalam pasal 6A (3) dan (4).


Kedua pasal ini menyatakan bahwa (3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. (4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Jika dianalisis konstruksi pasal ini maka dapat dipahami bahwa pemilu di Indonesia menganut prinsip absolute majority (dukungan suara mayoritas mutlak) dengan presentasi 50 persen+1 dan 20 persen disetiap wilayah provinsi atau sekitar 17 Provinsi dan menggunakan prinsip two round system (pemilu dua putaran) artinya pasal 6A ayat (3) dan (4) ini hanya berlaku apabila pasangan calon presiden lebih dari 2 pasangan calon.

Lebih lanjut Pelaksanaan pemilu presiden dan wakil Presiden ini kemudian diatur dalam pengaturan tersendiri yakni dalam Undang-Undang No 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Permasalahan besarnya adalah baik Konstitusi maupun Undang-Undang 42 tahun 2008 ini tidak mengatur lebih detail berkenaan dengan jumlah pasangan calon dalam pemilu.

Kisruh yang muncul saat ini berkenaan dengan tafsir pasal 159 ayat 1 adalah mengenai total perolehan suara yang diperoleh setiap pasangan calon, yakni 50 persen+1 perolehan suara secara nasional dan 20 persen di 17 wilayah provinsi. Konsekuensinya Jika ternyata tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara sebagaimana diamanahkan Undang-Undang maka harus mengikuti putaran kedua.

Di sinilah kemduian muncul beberapa perdebatan. Sebagaian berpendapat bahwa pemilu sebaiknya dilakukan satu putarannya saja dengan alasan penghematan dari sisi anggaran. Kedua, pemilu presiden harus tetap mengikuti amanah Undang-Undang yakni jika tidak terpenuhi ketentuan perolehan suara tersebut maka pemilu harus dilaksanakan dua putaran. Secara sederhana pasal 159 ayat (1) ini beretentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 D ayat (1), karena pasal ini dianggap tidak memenuhi unsur kepastian hukum sebagaimana amanah pasal 28 D.

Jika kita analisis satu persatu pendapat diatas pastinya akan menemukan beberapa hal baik positif maupun negative. Pendapat pertama jika dilakukan jelas inkonstitusional artinya tidak aturan yang mengatur. Pendapat kedua bias saja dilaksanakan tetapi konsekuensi realistisnya masyarakat akan kembali memilih pasangan yang sama, pemborosan dari sisi anggaran bahkan jika dilaksanakan besar kemungkinan pilpres akan terjadi politik  transaksional.

Dua alternatif serupa disampaikan KPU sebagai penyelenggara pemilu yakni pertama jika tidak terpenuhi maka akan dilakukan putaran kedua dengan pasangan calon yang sama. Kedua jika syarat suara mayoritas mutlak tidak terpenuhi maka perolehan suara terbanyak pertama menjadi presiden dan wakil presiden tetapi apapun keputusan KPU jika tidak dilandasi dengan kesepakatan dan penetapan maka keputusan ini bias saja digugat dikemudian hari

MK Sebagai Lembaga Penengah?


Secara teoritis Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk menafsirkan undang-undnag terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Jika pasal 159 ayat (1) Undang-Undang 42 Tahun 2008 bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 maka MK wajib untuk memutuskannya. Tetapi apakah tepat kemudian Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang atau norma baru karena sifatnya adalah negative legislator (penghapus norma bukan pembuat norma) mengingat sebelumnya memang tidak pernah diatur tentang mekanisme pilpres dengan dua pasangan calon.

Perpu sebagai Solusi

Jika melihat hak Presiden sebagai pembuat Undang-undang maka kita sampailah pada sebuah solusi terahkir jika memang Mahkamah Konstitusi tidak memberikan tafsirnya. Salah satu hak presiden adalah mengeluarkan (menetapkan) Perpu (peraturan penganti Undag-Undang).

Presiden dapat saja mengeluarkan Perpu yang mengatur pelaksanaan pilpres dengan dua pasangan calon ini. Sehingga nantinya Pelaksanaan pilres 2014 ini dapat terselenggara dengan baik dan menjamin prinsip fairness and equity dengan Perpu sebagai dasar hukumnya. [***]

Syafri Hariansah S.H.M.H
Akademisi, Ketua Gerakan Pemuda Islam (GPII) Bangka  Belitung dan Tim Assistensi Bawaslu Provinsi Kepulauan Bangka Belitung


Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

Distribusi Bantuan di Teluk Bayur

Minggu, 07 Desember 2025 | 04:25

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

UPDATE

RUU Koperasi Diusulkan Jadi UU Sistem Perkoperasian Nasional

Rabu, 17 Desember 2025 | 18:08

Rosan Update Pembangunan Kampung Haji ke Prabowo

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:54

Tak Perlu Reaktif Soal Surat Gubernur Aceh ke PBB

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:45

Taubat Ekologis Jalan Keluar Benahi Kerusakan Lingkungan

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:34

Adimas Resbob Resmi Tersangka, Terancam 10 Tahun Penjara

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:25

Bos Maktour Travel dan Gus Alex Siap-siap Diperiksa KPK Lagi

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:24

Satgas Kemanusiaan Unhan Kirim Dokter ke Daerah Bencana

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:08

Pimpinan MPR Berharap Ada Solusi Tenteramkan Warga Aceh

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:49

Kolaborasi UNSIA-LLDikti Tingkatkan Partisipasi Universitas dalam WURI

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:45

Kapolri Pimpin Penutupan Pendidikan Sespim Polri Tahun Ajaran 2025

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:42

Selengkapnya