Gubernur DKI Jakarta nonaktif Joko Widodo dituding lalai tak melakukan pengawasan selama menjadi orang nomor 1 di Ibukota. Kasus korupsi proyek Bus Transjakarta senilai Rp 2,3 triliun membuktikan lemahnya pengawasan Jokowi.
Karena itu, pernyataan Jokowi dalam cara debat Senin malam lalu mengenai pentingnya pengawasan pembangunan sebagai kunci pemberantasan korupsi dinilai sekadar janji kampanye.
Apalagi, Jokowi mengaku tidak tahu-menahu kasus yang menjerat mantan Kepala Dinas Perhubungan DKI Udar Pristono. Padahal, penggunaan anggaran yang besar sudah seharusnya berada dibawah pengawasan gubernur.
"Kalau Jokowi tidak tahu apa-apa, berarti nggak ngawasin dong. Kemarin-kemarin kemana saja dia," tegas Koordinator Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Ucok Sky Khadafi, Kamis, (12/6).
Saat debat pilpres 2014, Jokowi mengatakan manajemen pengawasan akan dilakukan setiap detik. "Manajemen pengawasan detik ke detik, hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan. Paling lemah manajemen pengawasan," kata Jokowi.
Ucok juga mempertanyakan konsep manajemen pengawasan yang kelak akan diterapkan Jokowi jika terpilih memimpin negeri ini.
"Bentuk pengawasannya seperti apa? Tidak jelas konsep pengawasannya seperti apa. Apakah pendekatan lembaga, atau pendekatan masyarakat. Kalau pendekatan masyarakat, berarti masyarakat ikur mengawasi melalui Twitter, media sosial," tutur Ucok.
Menurutnya, saat debat pilpres 2014 Jokowi terkesan hanya asal bicara tanpa tahu teknisnya. "Itu hanya sekadar semangat kampanye," ujar dia.
Hari ini dalam kampanye di Tasikmalaya, Jokowi mengemukakan bahwa dirinya selaku gubernur hanya memerintahkan kepala dinas perhubungan untuk melakukan pengadaan. Sedangkan terkait proses pengadaannya, menjadi tanggung jawab kepala dinas.
"Kalau saya perintahkan untuk membeli sabun yang wangi, tapi yang datang sabun yang tidak wangi. Nah, yang tidak benar yang mana? Yang nyuruh atau yang beli itu?" ucapnya.
[zul]