Berita

Suparman Marzuki

Wawancara

WAWANCARA

Suparman Marzuki: Komisi Yudisial Usul Take Home Pay Hakim Agung Rp 500 Juta Per Bulan

JUMAT, 03 JANUARI 2014 | 09:05 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Komisi Yudisial (KY) mendukung kesejahteraan hakim agung ditingkatkan. Dia mengusulkan take home pay (gaji dan tunjangan) para pengadil tersebut mencapai Rp 500 juta per bulan.

Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali mengeluhkan rendahnya kesejahteraan hakim agung. Menurutnya, gaji hakim agung lebih kecil dari hakim Pengadilan Tinggi. Gaji hakim agung hanya Rp 29 juta, sementara gaji hakim Pengadilan Tinggi mencapai Rp 40 juta.

Dia khawatir bila masalah perbedaan kesejahteraan itu tidak diperbaiki maka minat menjadi hakim agung akan terus menurun. Para hakim akan lebih tertarik berburu karier menjadi hakim Pengadilan Tinggi.


“Tolonglah para jurnalis, masalah kesejahteraan hakim agung diperhatikan. Jangan hanya mencari boroknya saja,” pinta Hatta Ali kepada wartawan, Senin (30/12).

Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki  mendukung kesejahteraan Hakim Agung ditingkatkan. Karena, beban dan tanggung jawab mereka sangat berat.

Berikut ini kutipan wawancara Rakyat Merdeka selengkapnya dengan Suparman Marzuki.

Anda mendukung kesejahteraan hakim agung ditingkatkan. Berapa idealnya?
Take home pay yang ideal untuk sekelas hakim agung itu, saya kira sekitar Rp 500 juta. Saya menilai gaji hakim Pengadilan Tinggi saat ini sebesar Rp 40 juta, masih terlalu kecil, seharusnya Rp 300 juta per bulan.

Apakah Rp 500 juta tidak terlalu besar untuk hakim agung?
Saya kira tidak. Itu nominal yang ideal jika melihat beban dan tuntutan tugas kepada seorang hakim agung. Perlu diketahui, gaji hakim di negara yang memiliki masalah tidak sekompleks Indonesia berkisar antara Rp 200 sampai  Rp 300 juta perbulan. Jadi saya rasa Rp 500 juta.

Bukankah selama ini hakim agung sudah mendapatkan berbagai fasilitas cukup mewah selain gaji?

Saya kira masih kurang. Seorang hakim agung itu memang sudah selayaknya mendapatkan berbagai fasilitas penunjang seperti kendaraan, ajudan untuk pengamanan, perumahan, dan lain-lain. Karena tugas yang mereka hadapi dan harus diselesaikan adalah kasus-kasus berat. Untuk fasilitas penunjang, dengan melihat Peraturan Pemerintah, saya lihat  sudah mulai diperhatikan. Yang kurang hanya masalah gaji.

Saya mendukung kesejahteraan ditingkatkan karena dapat menimbulkan dampak positif yakni bisa meminimalisir para hakim agung mudah menerima suap. Saya yakin kalau pendapatan sudah tinggi, mereka tidak lagi terlalu memikirkan masalah materi.

Apa pertimbangan Anda bisa menyimpulkan seperti itu?

KY telah melakukan analisis. Kami menemukan jawaban mengenai salah satu penyebab utama mengapa para hakim terlibat kasus suap,  yakni kesejahteraan mereka kurang diperhatikan. Memang bukan penyebab utama, tetapi sangat mempengaruhi.

Apa ada jaminan bila kesejahteraan hakim agung Naik, kasus suap akan berkurang?

Saya rasa terlalu tinggi kalau bicara jaminan, karena permasalahan di negeri ini terlalu kompleks. Pertanyaan itu sama seperti dengan pertanyaan, apakah kalau kita ganti Presiden, nanti permasalahan korupsi di Indonesia dijamin bisa tuntas 100 persen? saya kira tidak, tetapi ada harapan kalau kondisi ke depan  akan lebih baik. Nah dalam kasus ini pun demikian, saya tidak bisa memberikan jaminan, tetapi ada harapan.

Seberapa berat tugas hakim agung sehingga pantas mendapatkan kesejahteraan lebih dari hakim lain?
Hakim agung itu tidak hanya mengadili kasus. Tetapi juga melakukan pengawasan dan perbaikan terhadap institusi kehakiman. Mereka harus menciptakan institusi kehakiman yang baik.Dan tugas itu sangat sulit.

Mengapa sangat sulit?
Pertama, rekruitmen hakim di daerah itu bermasalah. Sekarang semua  sarjana hukum bisa menjadi seorang Hakim, asal cukup umur. Padahal tidak bisa begitu, karena belum tentu mereka sebetulnya kompetitif sebagai hakim. Kalau dari bibitnya saja sudah bermasalah, maka tidak mudah hakim agung membenahi atau menciptakan hakim yang berkualitas.

Kedua, ada subjektifitas dalam penempatan posisi hakim. Di kalangan hakim itu ada anggapan kalau hakim dari gerbong barang tidak akan bisa ke depan. Sementara kalau dari gerbong eksekutif, duduk manis pun bisa mendapat jabatan. Maksudnya, memiliki koneksi. Kalau kondisi seperti ini kan tidak bagus. Para hakim biasa enggan menunjukkan kinerja yang bagus, karena beranggapan percuma, tidak akan mendapat reward yang sesuai.  ***

Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

UPDATE

Pakar Tawarkan Framework Komunikasi Pemerintah soal Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 05:32

Gotong Royong Perbaiki Jembatan

Kamis, 25 Desember 2025 | 05:12

UU Perampasan Aset jadi Formula Penghitungan Kerugian Ekologis

Kamis, 25 Desember 2025 | 04:58

Peresmian KRI Prabu Siliwangi-321 Wujudkan Modernisasi Alutsista

Kamis, 25 Desember 2025 | 04:39

IPB University Gandeng Musim Mas Lakukan Perbaikan Infrastruktur

Kamis, 25 Desember 2025 | 04:14

Merger Energi Fusi Perusahaan Donald Trump Libatkan Investor NIHI Rote

Kamis, 25 Desember 2025 | 03:52

Sidang Parlemen Turki Ricuh saat Bahas Anggaran Negara

Kamis, 25 Desember 2025 | 03:30

Tunjuk Uang Sitaan

Kamis, 25 Desember 2025 | 03:14

Ini Pesan SBY Buat Pemerintah soal Rehabilitasi Daerah Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 02:55

Meneguhkan Kembali Jati Diri Prajurit Penjaga Ibukota

Kamis, 25 Desember 2025 | 02:30

Selengkapnya