Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menilai, secara hukum Hamdan Zoelva dan Patrialis Akbar tidak memenuhi syarat menjadi hakim Konstitusi setelah Senayan menerima Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) MK menjadi Undang-Undang (UU).
Keputusan DPR menyetujui Perpu MK menjadi UU baru MK diambil melalui mekanisme voting, Kamis (17/12). Dari 369 anggota DPR yang ikut dalam sidang paripurna, 221 orang setuju, dan 148 menolak.
Keputusan tersebut masih menyisahkan kontroversi. Karena, di dalam Perpu MK ada ketentuan mengenai persyaratan yang mewajibkan untuk anggota partai yang menjadi hakim MK sedikitnya telah non aktif menjadi pengurus selama tujuh tahun sebelum mencalonkan.
Nah, di MK ada hakim yang tidak memenuhi ketentuan tersebut, yakni Hamdan dan Patrialis.
Anggota Komisi III DPR Trimedya Panjaitan menilai, penjelasan Presiden bahwa Perpu tidak berlaku surat tidak bisa dianggap sebagai acuan hukum. Sebab, SBY bukan sumber hukum. Menurutnya, sumber hukum di Indonesia adalah Konstitusi, UU dan Perpu. Mahfud memiliki pandangan yang sama dengan Trimedya.
“Saya sepakat dengan pernyataan anggota Komisi III DPR Trimedya Pandjaitan, kalau secara hukum mereka sudah tidak bisa lagi menjadi Hakim MK,†kata Mahfud.
Masih adakan celah hukum yang dapat melegalkan posisi Hamdan dan Patrialis? Berikut ini kutipan wawancara
Rakyat Merdeka dengan Mahfud selengkapnya.
Apa dasar hukum sehingga Anda menyimpulkan Hamdan dan Patrialis tidak berhak menjadi hakim MK?Ya, karena mereka sudah dianggap tidak memenuhi syarat sebagai Hakim MK.
Mereka menjadi Hakim MK sebelum ada Perpu. Dan ketika seleksi mereka dianggap memenuhi syarat....Memang, itu berdasarkan Undang-Undang sebelumnya. Namun sejak keluar Undang-Undang baru , maka hakim yang belum tujuh tahun keluar dari parpol, menjadi tak memenuhi syarat.
Contohnya, dahulu syarat menjadi hakim tidak harus bergelar doktor. Saat itu semua yang belum bergelar doktor diperbolehkan mendaftar untuk menjadi Hakim. Tetapi saat ada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, perubahan syarat jadi hakim dan syarat jadi pimpinan MK berubah. Perubahan itu harus diikuti oleh semuanya.
Bukankah ketika itu ada hakim MK yang tidak memenuhi persyaratan baru tetapi tetap bertugas sampai masa jabatan habis?Betul, tapi ada dasar hukumnya, ada ketentuan peralihan yakni Pasal 87 yang menyatakan jabatan hakim-hakim MK yang tidak memenuhi syarat saat itu sah sampai akhir masa jabatannya. Nah, di Undang-Undang MK yang sekarang ini tidak ada ketentuan peralihannya.
Artinya posisi Hamdan dan Patrialis tetap aman bila dibuatkan aturan peralihan?Iya apabila ada aturan peralihan. Harus ada gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), untuk membuat tentang aturan peralihan.
Ada yang menilai persyaratan baru untuk pengurus parpol sedikitnya non aktif tujuh tahun bila ingin menjadi Hakim MK ditujukan untuk seleksi hakim berikutnya?Setiap orang memiliki pandangan masing-masing, ini masalah perbedaan interprestasi.
Namun demikian, akhirnya memang keputusan politik yang menentukan. Karena hukum adalah produk politik. Saya berpendapat sebaliknya, perlu ada Perpu baru khusus yang memuat ketentuan peralihan.
Bagaimana Anda menilai isi substansi Perpu yang sudah disahkan jadi undang-undang?Saya lihat isinya bagus. Pertama, di dalam undang-undang tersebut dikatakan, kalau seleksi hakim akan dilakukan secara terbuka. Artinya, orang-orang yang menjadi panel ahli untuk menentukan calon Hakim MK dilakukan secara terbuka, sehingga kualitas para calon hakim bisa kelihatan.
Kalau itu dijalankan, maka ke depan kualitas hakim-hakim MK akan semakin bagus.
Kalau sebelumnya kan tidak terbuka, tiba-tiba ada yang dipanggil Setneg, lalu diwawancara, eh kemudian sudah ada yang terpilih.
Selain itu, ada ketentuan untuk membentuk Majelis Kehormatan yang berasal dari eksternal. Selama ini Komisi Yudisial tidak bisa mengawasi Hakim MK, karena
judicial review-nya di tolak pada tahun 2006.
Dengan ketentuan itu, maka hakim MK ada yang mengawasi, walaupun bukan KY yang melakukannya. Tapi biasanya kalau dari eksternal, orang-orang yang terpilih kredibel.
Oh iya, belum lama ini ada pihak yang mengajukan uji materi terhadap Perpu MK. Bila gugatan itu diterima, maka sudah tidak diperlukan lagi aturan peralihan?MK harus segera memutuskan, uji materi itu tidak dapat diterima. Sebab, dengan berubahnya Perpu itu menjadi undang-undang, maka orang-orang yang mengajukan gugatan kehilangan objek tuntutan.
Kalau mereka tidak puas, mereka bisa melakukan judicial review terhadap Undang-undang MK yang baru.
Apa saran Anda kepada MK pasca Perpu disahkan menjadi undang-undang?MK harus segera menghapus dewan etik yang dibentuk oleh internal. Sebab, percuma bila dipertahankan karena Dewan etik tidak memiliki payung hukum yang jelas, sehingga apabila ada kasus, hakim yang dipanggil pun bisa menolak untuk hadir. Selain itu, kalau internal mengawasi internal tentu tidak akan maksimal.
Saran saya, tiga orang yang saat ini menjadi Dewan Etik langsung saja dijadikan anggota Majelis Kehormatan. Toh, mereka berasal dari luar dan memiliki kredibelitas.
Saya kira DPR dan MA harus secepatnya berembuk guna membentuk panel ahli untuk melakukan seleksi secara cermat. Jangan sampai orang-orang yang mau mencari pekerjaan yang melamar. ***