Berita

Fadel Muhammad

Wawancara

WAWANCARA

Fadel Muhammad: WTO Bisa Menghancurkan Semangat Petani Lokal...

KAMIS, 05 DESEMBER 2013 | 09:15 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Masyarakat Agribisnis dan Agroindustri Indonesia (MAI)  sependapat dengan mahasiswa yang menolak Konferensi Tingkat Menteri (KTM) World Trade Organization (WTO) di Bali.

“WTO di Bali itu mengancam kehidupan petani Indonesia,” tegas Ketua Umum MAI, Fadel Muhammad kepada Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin.

Seperti diketahui, mahasiswa, petani, dan LSM berunjuk rasa di kantor Konsulat Amerika Serikat di Denpasar, Bali, Senin (2/12). Mereka menolak KTM Ke-9 WTO di Bali, 3-6 Desember 2013.


Fadel Muhammad mengatakan, WTO bisa  menghancurkan spirit petani-petani lokal. Ini akan menyengsarakan petani. 
 
Berikut kutipan selengkapnya:

Kenapa WTO ditolak?
Kalau ini tidak dibendung, WTO ini bisa menghancurkan semangat petani lokal. Saya heran, India saja menolak WTO. Kenapa kita tidak. Apa kita mau dijajah dari segi pangan.

Kebijakan pertanian WTO  mencelakakan petani kita. Ini berarti mencelakakan kebijakan pangan dan kepentingan nasional Indonesia. Kita perlu juga mempertimbangkan  Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

Kita harus berani mulai mengurangi ketergantungan pangan dari impor. Memanfaatkan keunggulan domestik dengan membangun tata kelola pangan yang lebih baik agar petani berpendapatan secara pantas.

Apa tindakan MAI untuk perjuangkan nasib petani dan nelayan Indonesia?
Kami akan menemui Wakil Presiden Boediono  guna memberikan laporan lengkap bahwa bangsa dan negara kita mampu untuk tidak impor pangan.

Kapan bertemu Wapres?
Minggu depan.

Action di bawah seperti apa?
Pertama, seluruh kelompok petani dari berbagai komoditas akan membuat gerakan yang dimotori MAI.

Kedua,  kita meminta pemerintah agar jangan ikut arus WTO yang mengarah pada liberalisasi pertanian. Pemerintah harus punya sikap karena negeri ini mesti kita lindungi. Pemerintah harus pro petani dalam negeri.

Memang WTO bagaimana?
WTO itu pikiran yang berkembang adalah neoliberalisme semua. Arahnya, ingin mengekspor produk pertanian mereka ke Indonesia. Bahkan sampai benih pangan juga dibatasi. Akhirnya pertanian dalam negeri mati suri. Padahal, semangat petani perlu dibangkitkan demi ketahanan pangan nasional.

Pemerintah harus berikan kepastian harga seperti kebijakan yang saya buat dulu.

Waktu saya menjadi Gubernur Gorontalo, saya berikan kepastian harga jagung yang membuat petani semangat bertani. Ini harus kita buat secara kontinyu. Kalau dalam kesepakatan WTO tidak ada soal itu.

 Apa Anda melihat semua tergantung WTO?
Sebagian besar penduduk negara berkembang menggantungkan nasibnya di sektor pertanian. Kehidupan mereka  semakin terancam setelah negaranya meratifikasi liberalisasi pertanian seperti yang direkomendasikan WTO.

Produk pertanian mereka terusir dari pasar lokal oleh produk pertanian impor. Negara berkembang semakin lebih bergantung pada impor dalam memenuhi pasokan pangan untuk rakyatnya.

Apa kita mampu tidak impor pangan?  
Kita mudah lupa dengan peristiwa penting masa lalu. Sebelum krisis moneter 1997, Indonesia telah menjadi negara berkembang yang mampu dengan cepat mengurangi jumlah orang miskin dan jumlah RT (rumah tangga) yang rawan pangan.

Pada 1996, Biro Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan berkurang 22,5 juta orang atau sekitar 11 persen dari penduduk Indonesia.  Ini karena ada kebijakan yang konsisten dalam ketahanan pangan.

Kalau sekarang bagaimana?

Sepanjang 2012 saja, impor produk pangan Indonesia telah menyedot anggaran lebih dari Rp 125 triliun. Dana tersebut digunakan untuk impor daging sapi, gandum, beras, kedelai, ikan, garam, kentang, dan komoditas pangan lainnya. Ini semakin mematikan pertanian Indonesia.  

Jika kita kaitkan dengan amanat Undang-Undang Nomor 18 tentang Pangan, pemerintah sepertinya mengingkari amanat undang-undang tersebut. Terutama pasal 15 ayat 1 yang menyebutkan, pemerintah mengutamakan produksi pangan dalam negeri untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan.

Kemudian  pasal 17 menyebutkan, pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban melindungi dan memberdayakan petani, nelayan, pembudi daya ikan, dan pelaku usaha pangan sebagai produsen pangan. ***

Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

UPDATE

Pakar Tawarkan Framework Komunikasi Pemerintah soal Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 05:32

Gotong Royong Perbaiki Jembatan

Kamis, 25 Desember 2025 | 05:12

UU Perampasan Aset jadi Formula Penghitungan Kerugian Ekologis

Kamis, 25 Desember 2025 | 04:58

Peresmian KRI Prabu Siliwangi-321 Wujudkan Modernisasi Alutsista

Kamis, 25 Desember 2025 | 04:39

IPB University Gandeng Musim Mas Lakukan Perbaikan Infrastruktur

Kamis, 25 Desember 2025 | 04:14

Merger Energi Fusi Perusahaan Donald Trump Libatkan Investor NIHI Rote

Kamis, 25 Desember 2025 | 03:52

Sidang Parlemen Turki Ricuh saat Bahas Anggaran Negara

Kamis, 25 Desember 2025 | 03:30

Tunjuk Uang Sitaan

Kamis, 25 Desember 2025 | 03:14

Ini Pesan SBY Buat Pemerintah soal Rehabilitasi Daerah Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 02:55

Meneguhkan Kembali Jati Diri Prajurit Penjaga Ibukota

Kamis, 25 Desember 2025 | 02:30

Selengkapnya