Masyarakat Agribisnis dan Agroindustri Indonesia (MAI) sependapat dengan mahasiswa yang menolak Konferensi Tingkat Menteri (KTM) World Trade Organization (WTO) di Bali.
“WTO di Bali itu mengancam kehidupan petani Indonesia,†tegas Ketua Umum MAI, Fadel Muhammad kepada Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin.
Seperti diketahui, mahasiswa, petani, dan LSM berunjuk rasa di kantor Konsulat Amerika Serikat di Denpasar, Bali, Senin (2/12). Mereka menolak KTM Ke-9 WTO di Bali, 3-6 Desember 2013.
Fadel Muhammad mengatakan, WTO bisa menghancurkan spirit petani-petani lokal. Ini akan menyengsarakan petani.
Berikut kutipan selengkapnya:Kenapa WTO ditolak?Kalau ini tidak dibendung, WTO ini bisa menghancurkan semangat petani lokal. Saya heran, India saja menolak WTO. Kenapa kita tidak. Apa kita mau dijajah dari segi pangan.
Kebijakan pertanian WTO mencelakakan petani kita. Ini berarti mencelakakan kebijakan pangan dan kepentingan nasional Indonesia. Kita perlu juga mempertimbangkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Kita harus berani mulai mengurangi ketergantungan pangan dari impor. Memanfaatkan keunggulan domestik dengan membangun tata kelola pangan yang lebih baik agar petani berpendapatan secara pantas.
Apa tindakan MAI untuk perjuangkan nasib petani dan nelayan Indonesia?Kami akan menemui Wakil Presiden Boediono guna memberikan laporan lengkap bahwa bangsa dan negara kita mampu untuk tidak impor pangan.
Kapan bertemu Wapres?Minggu depan.
Action di bawah seperti apa?Pertama, seluruh kelompok petani dari berbagai komoditas akan membuat gerakan yang dimotori MAI.
Kedua, kita meminta pemerintah agar jangan ikut arus WTO yang mengarah pada liberalisasi pertanian. Pemerintah harus punya sikap karena negeri ini mesti kita lindungi. Pemerintah harus pro petani dalam negeri.
Memang WTO bagaimana?WTO itu pikiran yang berkembang adalah neoliberalisme semua. Arahnya, ingin mengekspor produk pertanian mereka ke Indonesia. Bahkan sampai benih pangan juga dibatasi. Akhirnya pertanian dalam negeri mati suri. Padahal, semangat petani perlu dibangkitkan demi ketahanan pangan nasional.
Pemerintah harus berikan kepastian harga seperti kebijakan yang saya buat dulu.
Waktu saya menjadi Gubernur Gorontalo, saya berikan kepastian harga jagung yang membuat petani semangat bertani. Ini harus kita buat secara kontinyu. Kalau dalam kesepakatan WTO tidak ada soal itu.
Apa Anda melihat semua tergantung WTO?Sebagian besar penduduk negara berkembang menggantungkan nasibnya di sektor pertanian. Kehidupan mereka semakin terancam setelah negaranya meratifikasi liberalisasi pertanian seperti yang direkomendasikan WTO.
Produk pertanian mereka terusir dari pasar lokal oleh produk pertanian impor. Negara berkembang semakin lebih bergantung pada impor dalam memenuhi pasokan pangan untuk rakyatnya.
Apa kita mampu tidak impor pangan? Kita mudah lupa dengan peristiwa penting masa lalu. Sebelum krisis moneter 1997, Indonesia telah menjadi negara berkembang yang mampu dengan cepat mengurangi jumlah orang miskin dan jumlah RT (rumah tangga) yang rawan pangan.
Pada 1996, Biro Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan berkurang 22,5 juta orang atau sekitar 11 persen dari penduduk Indonesia. Ini karena ada kebijakan yang konsisten dalam ketahanan pangan.
Kalau sekarang bagaimana?Sepanjang 2012 saja, impor produk pangan Indonesia telah menyedot anggaran lebih dari Rp 125 triliun. Dana tersebut digunakan untuk impor daging sapi, gandum, beras, kedelai, ikan, garam, kentang, dan komoditas pangan lainnya. Ini semakin mematikan pertanian Indonesia.
Jika kita kaitkan dengan amanat Undang-Undang Nomor 18 tentang Pangan, pemerintah sepertinya mengingkari amanat undang-undang tersebut. Terutama pasal 15 ayat 1 yang menyebutkan, pemerintah mengutamakan produksi pangan dalam negeri untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan.
Kemudian pasal 17 menyebutkan, pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban melindungi dan memberdayakan petani, nelayan, pembudi daya ikan, dan pelaku usaha pangan sebagai produsen pangan. ***