Berita

gita wirjawan

Wawancara

WAWANCARA

Gita Wirjawan: Saya Percaya Aksi Lebih Keras Daripada Kata-kata!

SELASA, 22 OKTOBER 2013 | 00:01 WIB

Gita Wirjawan begitu bersemangat untuk menunjukkan kepada dunia bahwa anak-anak muda Indonesia bisa maju ke pentas politik nasional demi satu tujuan, memajukan bangsa dan negaranya di mata dunia.

Dia menjabarkan, kekuatan kaum muda kita yang berusia 40 tahun ke bawah berjumlah 60 persen dari populasi, dan relevansi Indonesia di geopolitik dunia semakin besar baik sebagai negara dengan ekonomi terbesar nomor 15 di dunia. Di bidang demokrasi, Indonesia adalah negara demokrasi terbesar nomor tiga di dunia. Belum lagi, populasi terbesar nomor empat di dunia.

"Bagi saya ini yang membuat penting bagi anak-anak muda untuk maju. 60 persen dari 280 juta populasi itu berarti ada 150 juta manusia Indonesia yang usianya di bawah 40 tahun. Sudah semestinya mereka berpikir progresif," kata Menteri Perdagangan Gita Wirjawan saat berdialog dengan Rakyat Merdeka Online di bilangan Senayan, Jakarta pada Senin malam (21/10).


Dalam dialog yang serius tapi santai, Gita menegaskan bahwa salah satu motivasinya dalam mengikuti penjaringan calon presiden (konvensi) Partai Demokrat adalah menyemangati "kawan-kawan" mudanya bahwa pesta demokrasi 2014 adalah kesempatan mulia untuk menyongsong kepemimpinan pemuda dan meningkatkan relevansi Indonesia di peta geopolitik dunia. Dan, ada tanggapan mengejutkan darinya soal stigma "neolib" yang ditempelkan kepadanya.

Apa saja analisa, gagasan besar dan cita-cita Gita untuk Indonesia yang lebih baik sehingga ia memberanikan maju ke dalam pencapresan? Berikut selengkapnya wawancara kami dengan pria asal Yogyakarta pencinta musik dan olahraga ini.

Apa yang membuat Anda begitu berani dan yakin maju ke pencapresan?

Dengan latar belakang saya yang cukup banyak di urusan ekonomi atau bisnis, saya yakin cukup mendukung untuk bisa mengedepankan kepentingan rakyat dari sisi kesejahteraan, memperkecil kesenjangan dan tingkatkan relevansi Indonesia.

Tapi Anda mendapat cap sebagai penganut mazhab neoliberal dari sebagian kalangan, terutama terkait kebijakan impor pangan akhir-akhir ini. Bagaimana Anda menanggapinya?

Gagasan saya jelas: harus ada peran pemerintah sejahterakan rakyat. Tidak bisa semua dilepaskan begitu saja ke pasar. Saya gampang dipersepsikan neolib karena lama belajar di luar negeri. Tapi saya tetap percaya pada pepatah yang mengatakan "aksi lebih keras daripada kata-kata". Lihat saja policy saya selama menjabat Kepala BKPM dan Mendag. Keberpihakan saya pada rakyat dan pengusaha dalam negeri cukup jelas.

Bisa Anda sebutkan sebagian dari kebijakan-kebijakan Anda yang mampu membantah stigma itu?

Tanya Ketua Asosiasi Furnitur Indonesia dari Cirebon, Suroto. Tanya dia apa kebijakan saya dalam satu bulan pertama menjadi Mendag. Saya keluarkan policy larangan ekspor bahan baku rotan. Mengapa? Karena ratusan ribu pekerja di Cirebon di pabrik rotan itu kena PHK. Mereka tak bisa dapatkan bahan baku dari Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera karena bahan baku langsung diekspor ke China. Kini, pertumbuhan furnitur di ekspor dan penjualan mencapai puluhan persen, pertumbuhan produksi rotan 80 persen, dan sudah lebih dari 100 ribu lapangan kerja tercipta semenjak policy itu keluar.

Kedua, awal tahun lalu saya keluarkan kebijakan yang haruskan retail outlet menjual 80 persen produk dalam negeri. Ini pertama kalinya ada kebijakan begitu. Dulu, sewaktu menjabat Kepala BKPM, saya dorong penanaman modal dalam negeri. Sebelum saya masuk, rasionya cuma 12 persen dari total penamaman modal. Sekarang 25 sudah persen dari penanamam modal. Total penenama modal tiap tahun naik 30 persen dan itu jauh lebih banyak peran pengusaha nasional. policiy saya bikin penenaman modal harus lebih banyak di daerah.

Soal krisis kedelai, saya prakarsai peraturan yang lebih memberdayakan Bulog. Saat itu saya kukuh, dan jelas yang neolib itu siapa. Tapi, tetap saya yang lebih gampang dipersepsikan neolib karena saya lebih banyak menimba pendidikan di Barat. Jangan lupa, saya pernah tiga tahun di India dan dua tahun di Bangladesh, dua negara yang lebih miskin dari Indonesia.

Apa pandangan Anda mengenai kesenjangan sosial dan kemiskinan di Tanah Air yang masih tinggi?

Indonesia ada di urutan 15 terbesar di dunia. Pertumbuhan kita disokong 50 persen oleh perdagangan. Sementara total konsumsi dalam negeri 60 persen. Ini modal perindustrian yang besar dan cukup stabil. Menurut saya ini dahsyat kalau digarap, dan tentu penggarapannya harus kedepankan kepentingan rakyat. Jangan sampai kesenjangan semakin besar. Jangan lupa rasio gini di Amerika 0,45. Sementara rasio gini kita sekarang 0,41. Semakin tinggi rasionya berarti makin senjang. Mengapa demikian? Karena pertumbuhan ekonomi kita pesat tapi kurang inklusif, makanya kesenjangan kita meningkat.

Ada 11 koma sekian persen penduduk kita yang masih dalam kategori miskin dan ada 6 koma sekian persen yang masuk kategori menganggur. Berarti ada sekitar 28 juta orang miskin dan itu yang harus disejahterakan. Tapi jangan lupa dalam 9 tahun terakhir ini tingkat kemiskinan yang 17 persen sudah jadi 11 persen. Ini akan ditekan terus ke bawah.

Apakah kesenjangan sosial itu termasuk antara Indonesia bagian Timur dengan Barat?

Ya, kesenjangan sosial bukan cuma antara si kaya dan si miskin. Tapi masyarakat di Timur pendapatan per kapitanya jauh lebih rendah daripada masyarakat di Barat. Maka yang harus dipompa adalah penanaman modal yang pro aktif di bagian Timur. Invetasi-lah yang bisa membantu, dan harus sebanyak mungkin di hilir karena di sanalah yang padat karya.

Apa kemajuan yang sudah dicapai pemerintah dalam mengatasi kesenjangan tersebut?

Investasi kita lebih terdisitribusi ke luar Pulau Jawa dalam tiga tahun terakhir. Pada tahun 2009, hanya 18 persen dari total penamanam modal ke luar Jawa dan 82 persen di Pulau Jawa. Pada 2010, 33 persen investasi ke luar Jawa, dan 67 persen di Jawa. Nah, tahun ini penanaman modal di luar Jawa sudah mencapai 46 persen, sedangkan di Jawa cuma 54 persen. Bayangkan, dari 82 persen turun ke 54 persen. Langkah itu akan menopang kepentingan kita untuk mengurangi kesenjangan

Apa masalah besar yang menurut Anda sedang dihadapi pemerintah dalam meningkatkan pendapatan negara?

Harus ada cara membesarkan kue ekonomi dan itu berarti membesarkan peran pemerintah. Tax ratio kita 15 persen, berarti 15 persen dari PDB kita berasal dari pajak. Sedangkan negara-negara maju tax ratio-nya sudah di atas 30 persen. Jadi total pengerukan pendapatan pajak dibanding total PDB-nya sudah 30 persen, yang artinya pendapatan pajak di negara maju lebih dahsyat daripada kita. Nah, untuk menaikkan 15 persen ke 30 persen itu perlu penambahan jumlah  pembayar pajak sebanyak puluhan juta orang.

Kalau kita potret, keterlibatan pemerintah dari sisi penguatan ekonomi ini sangat minim, cuma 15 persen dari total kue ekonomi. Padahal, negara maju sudah 30 persen. Jadi mereka sudah tahu sejauh mana dan sedekat mana pemerintah harus terlibat. Ada teori mengatakan, kalau tax rate kita turunkan maka jumlah pembayar pajak akan lebih banyak. Kalau pendapatan pemerintah meningkat, maka kita akan lebih enak bicaranya. Pasti ada peran BUMN yang sentral untuk jadi agen pembangunan, tapi harus ada dana besar di belakangnya.

Soal dominasi asing pada sektor migas nasional?

Tidak ada alasan yang mengatakan kita tak bisa lakukan sendiri. Kita juga harus sadar kebutuhan minyak kita 1,3 juta barel per hari. Sedangkan produksi kita turun ke 450 ribu barel per hari. Jadi importasi masih tinggi. Sebetulnya ini sangat bisa dikelola Pertamina. Selama ini sudah ada perbaikan, tapi perlu waktu.

Soal ASEAN Free Trade Agreement yang dipraktikkan pada 2015 nanti, apakah Indonesia sudah siap?

Kita belum siap untuk total. Ada beberapa hal yang kita belum siap, Filipina belum siap atau Thailand belum siap. Ada beberapa jasa dan investasi yang harus kita tutup karena strategis untuk kepentingan nasional misalnya di bidang pelabuhan, bandar udara yang harus dikelola BUMN. Ada sektor yang harus kita lindungi. Bagusnya, ASEAN ini cukup ada kompromi dan saling menghormati.

Beralih ke persoalan politik dalam negeri. Apa pandangan Anda melihat perkembangan demokrasi dan cara berpolitik para elite?

It is getting better. One man one vote, dua kali pemilu dan pilpres tanpa ada pertumpahan darah sama sekali, itu sudah sangat baik.

Apa tanggapan Anda terkait cibiran bahwa konvensi yang sedang Anda geluti ini miskin akan perang gagasan di antara para pesertanya?

Sebenarnya, di antara kami (peserta konvensi) tak terlalu banyak perbedaan. Semua maunya sama, membawa kesejahteraan untuk semua rakyat. Kalau pakai pendekatan ideologi mungkin belum ada di Indonesia. Cara berkampanyenya kebanyakan non ideologis.

Apakah Anda gelisah dengan realitas politik yang demikian?

Tidak. Itulah cerminan dari maturitas atau kedewasaan demokrasi kita. Amerika Serikat sudah 200 tahun lebih berdemokrasi dan tentu saja cerminan ideologinya lebih terlihat. Di Indonesia, tradisi perdebatan ideologi ini belum ada digunakan politisi atau parpol saat ini.

Terakhir, secara singkat apa saja yang akan Anda lakukan di hari pertama bila dipercaya rakyat menjadi Presiden RI 2014-2019?

Yang harus dilakukan dalam jangka pendek adalah pembangunan infrastruktur. Lakukan apa saja supaya tak hanya mengurangi kesenjangan, tapi juga meningkatkan konektivitas bagian Timur Indonesia. Kedua, saya rasa bagaiman supaya kita bisa ambil sikap fiskal, supaya bisa reinvestasi untuk program pendidikan yang dahsyat.

Ketiga, menciptakan ketahanan pangan. Saat ini ada 7 miliar manusia di planet bumi dan 20-30 tahun ke depan ada peningkatan sebesar 20-30 persen kebutuhan protein dunia. Kalau kita tergantung pada luar negeri, maka kita akan tersandera. Program kita harus lebih dahsyat dari swasembada, malah bisa mengekspor pangan ke luar negeri.

Dan terakhir, menciptakan ketahanan energi. Untuk sektor pangan dan energi ini bisa kita lakukan dalam satu periode. Tapi untuk memperkuat dunia pendidikan, tergantung kita mau sejauh mana. Sekarang warga berpendidikan S3 kita masih 25 ribu orang. Di sisi lain China sudah 800 ribu orang, India 600 ribu orang. Untuk mencapai 800 ribu yang berpendidikan S3 itu tidak mungkin satu periode. Realitasnya, kita harus bersaing dengan negara berkembang dan maju. Maka itu harus ada program pendidikan yang dahsyat. [ald]

Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

UPDATE

Trump Serang Demokrat dalam Pesan Malam Natal

Kamis, 25 Desember 2025 | 16:04

BUMN Target 500 Rumah Korban Banjir Rampung dalam Seminggu

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:20

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Gibran Minta Pendeta dan Romo Terus Menjaga Toleransi

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:40

BGN Sebut Tak Paksa Siswa Datang ke Sekolah Ambil MBG, Nanik: Bisa Diwakilkan Orang Tua

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:39

Posko Pengungsian Sumut Disulap jadi Gereja demi Rayakan Natal

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:20

Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK, Kardinal Suharyo Ingatkan Pejabat Harus Tobat

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:15

Arsitektur Nalar, Menata Ulang Nurani Pendidikan

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:13

Kepala BUMN Temui Seskab di Malam Natal, Bahas Apa?

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:03

Harga Bitcoin Naik Terdorong Faktor El Salvador-Musk

Kamis, 25 Desember 2025 | 13:58

Selengkapnya