M.Nazaruddin
M.Nazaruddin
RMOL.Setelah dijatuhi hukuman 4 tahun 10 bulan penjara dalam kasus suap pembangunan Wisma Atlet, Nazaruddin mesti bersiap-siap diperiksa penyidik KPK sebagai tersangka kasus pencucian uang.
Bekas Bendahara Umum Partai Demokrat itu masih harus menghadapi sejumlah kasus yang menÂjeratnya dan tengah diÂkemÂbangkan KPK. Salah satunya adaÂlah perkara tindak pidana penÂcucian uang dengan pembelian saham PT Garuda Indonesia. DaÂlam kasus ini, Nazaruddin sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Menurut Kepala Biro Humas Komisi Pemberantasan Korupsi Johan Budi Sapto Prabowo, daÂlam waktu yang tidak lama, peÂnyidik akan memanggil dan meÂmeriksa Nazar terkait kasus penÂcucian uang itu. “Pemeriksaan saksi dilakukan, termasuk nanti tersangkanya akan diperiksa,†ujarÂnya pada Jumat lalu (20/4).
Tapi, Johan belum bisa memasÂtikan jadwal pemeriksaan NaÂzaÂruddin sebagai tersangka kasus pencucian uang dengan pemÂbeÂlian saham Garuda itu. Kendati begitu, KPK sudah bersiap-siap untuk memeriksa Nazar sebagai tersangka lagi. “Belum ketahuan kapannya. Prinsipnya, kalau bisa, ya segera,†kata dia.
Sudah beberapa pekan ini, KPK memanggil para saksi kasus pencucian uang yang disangka merupakan hasil korupsi itu. Pada Senin lalu (16/4) misalnya, peÂnyiÂdik mengorek keterangan LauÂrentius Teguh dari PT Duta Graha Indah (DGI) dan Jane Odorlina. “Keduanya adalah saksi,†ujar Johan.
Dari dua saksi yang dijadÂwalkan untuk diperiksa KPK hari itu, hanya satu orang yang datang, yakni Laurentius. “Jane tidak haÂdir, tapi dia sudah memberi tahu lewat surat pemberitahuan dan izin. Dia akan diperiksa tanggal 24 April,†kata Johan.
Pada Senin, 13 Februari 2012, KPK telah menetapkan status tersangka kasus pencucian uang kepada Muhammad Nazaruddin. “Berdasarkan alat bukti yang ada, KPK menaikkan kasus pemÂbelian saham PT Garuda melalui Mandiri Securitas ke tahap peÂnyiÂdikan. Penggunaan dana itu terÂkait kasus suap Sesmenpora yang berkembang, dengan tersangka MN,†kata Johan.
Nazaruddin disangka meÂlaÂkuÂkan pencucian uang karena memÂbeli saham PT Garuda Indonesia dengan menggunakan uang hasil tindak pidana korupsi terkait peÂmenangan PT DGI sebagai peÂlakÂsana proyek Wisma Atlet. NaÂzaÂrudÂdin sebelumnya didakwa meÂneÂÂrima suap terkait pemenÂangan PT DGI berupa cek senilai Rp 4,6 miliar. “Diduga berasal dari kasus suap Wisma Atlet berkaitan deÂngan PT DGI,†kata Johan.
Pasal yang disangkakan terÂhaÂdap Nazaruddin adalah Pasal 12 huruf a atau huruf b, subsider PaÂsal 5 Ayat 2, subsider Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagai pidana asal. Lalu, pasal tindak pidana pencucian uang, yaitu Pasal 3, Pasal 4 juncto Pasal 6 Undang-UnÂdang Nomor 8 Tahun 2010 tenÂtang Tindak Pidana Pencucian uang. Namun, Komisi PembeÂranÂtasan Korupsi belum menambah tersangka baru kasus ini. “Belum ada tersangka baru,†kata Johan.
Indikasi tindak pidana penÂcuÂcian uang oleh Nazaruddin ini terÂungkap dalam persidangan kasus suap pembangunan Wisma Atlet. Bekas Wakil Direktur Keuangan Permai Grup, Yulianis saat berÂsakÂsi dalam persidangan NazaÂruddin mengungkapkan bahwa Permai Grup memborong saham PT Garuda Indonesia senilai total Rp 300,8 miliar pada 2010. PemÂbelian saham perdana PT Garuda Indonesia itu dilakukan lima peÂrusahaan yang merupakan anak peÂrusahaan Permai Grup.
Reka Ulang
35 Kasus Membelit Nazaruddin
Pada 13 Agustus 2011, Ketua KPK Muhammad Busyro MuÂqodÂdas menggelar jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta. Dia menÂjelaskan sejumlah kasus yang bisa menyeret bekas Bendahara Umum Partai Demokrat MuÂhammad Nazaruddin.
Dalam bahan pres rilis, diÂseÂbutkan bahwa perkara yang diÂduÂga melibatkan Nazaruddin menÂcapai 35 kasus. Namun, tidak diÂsebutkan satu persatu apa saja kaÂsus-kasus itu. Busyro Muqoddas berjanji akan terus menyamÂpaiÂkan kepada publik perkembangan pengusutan kasus-kasus itu.
“Kami akan terus bekerja deÂngan penuh tanggungjawab,†kata Busyro yang kini “turun pangkat†menjadi Wakil Ketua KPK.
Selain kasus suap Wisma Atlet di Kementerian Pemuda dan Olahraga, jejak Nazaruddin antaÂra lain terendus dalam kasus duÂgaÂan korupsi di Kementerian KeÂsehatan, Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian TeÂnaÂga Kerja dan Transmigrasi.
KaÂsus-kasus tersebut ada yang diÂtaÂngani KPK, Polri dan KeÂjaksaan Agung. Namun, NaÂzaÂrudÂdin daÂlam berbagai kesemÂpaÂtan memÂbantah melakukan tinÂdak pidana korupsi.
Seiring waktu, Johan dijatuhi huÂkuman 4 tahun 10 bulan penÂjara oleh Majelis Hakim PeÂngaÂdilan Tipikor Jakarta dalam kasus suap pembangunan Wisma Atlet. Kemudian, dia menjadi tersangka kaÂsus pencucian uang hasil koÂrupsi dengan cara pembelian saÂham perdana PT Garuda IndoÂneÂsia. Kasus ini telah ditingkatkan KPK dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan.
Sejak 13 Februari lalu, KPK teÂlah menjadwalkan mengorek keÂterangan sejumlah saksi kasus penÂcucian uang ini, yakni bekas Wakil Direkur Keuangan Permai Grup Yulianis, bekas staf keÂuangan Permai Grup Oktarina Furi, DiÂrektur Keuangan PT Duta Graha Indah Laurencius Teguh Khasanto, dan Direktur PT ManÂdiri Securitas Harry Maryanto Supoyo.
Pembelian saham perdana PT Garuda Indonesia terungkap daÂlam persidangan kasus suap WisÂma Atlet SEA Games. Yulianis, saat bersaksi untuk Nazaruddin mengungkapkan, Permai Grup memborong saham PT Garuda Indonesia senilai Rp 300,8 miliar. Pembelian saham tersebut mengÂgunakan uang fee yang diterima Permai Grup dari jasa “meÂnoÂlong†perusahaan-perusahaan memenangi tender proyek-proÂyek pemerintah.
Sebelumnya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan 150 tranÂsaksi mencurigakan NazÂarudÂdin di 16 bank. Menurut Kepala PPATK saat itu, Yunus Husein, 150 transaksi tersebut termasuk dalam kategori transaksi peÂruÂsaÂhaan. Namun, Yunus enggan membeberkan nama perusahaan apa yang dimaksud.
“Dia kan punya perusahaan banyak sekali, lebih dari 150. Itu tidak di KeÂmenpora saja, di temÂpat lain juga banyak,†katanya keÂpada Rakyat Merdeka.
Yunus mengaku tidak mengeÂtaÂhui secara persis berapa jumlah nominal keseluruhan transaksi itu. Yang pasti, katanya, jumlah tranÂsaksi mencurigakan milik NaÂzaÂruddin mencapai angka ratuÂsan miÂliar rupiah. “Wah jangan tanya rinÂciannya. Saya tidak hapal,†ucapÂnya.
Ragu Kasus Nazar Tuntas Semua
Nasir Jamil, Wakil Ketua Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Nasir Jamil khawatir, penguÂsutan sejumlah kasus korupsi bekas Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad NazaÂrudÂdin tidak akan tuntas dikerÂjakan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sebab, menurut Nasir, tidak mudah bagi KPK untuk memÂbongkar kasus-kasus NazÂaÂrudÂdin sampai tuntas semua. “Saya agak pesimis bahwa kasus-kaÂsus Nazaruddin ini akan diÂbongÂkar habis, karena situasi di internal KPK. Dengan situasi internal KPK, saya pesimis bisa dibongkar tuntas. Apalagi berÂkaitan dengan muatan-muatan politik,†ujarnya.
Menghadapi banyaknya kasus Nazaruddin, lanjut Nasir, kiÂnerja Komisi Pemberantasan Korupsi disorot masyarakat luas. “Masalah yang melilit NaÂzar ini banyak sekali. Ini menÂjadi tantangan bagi KPK,†ujar angÂgota DPR dari Fraksi PKS ini.
Selain kondisi internal KPK yang tidak meyakinkan, lanjut Nasir, sejumlah perkara berÂkaitan dengan Nazaruddin pun masih mengambang. “MisalÂnya, Angelina Sondakh belum tuntas seperti apa prosesnya. Ini akan menjadi sorotan publik terus,†katanya.
Kasus-kasus Nazaruddin, lanjut dia, menjadi ujian besar bagi Komisi yang kini diketuai Abraham Samad itu untuk meÂnuntaskannya. “Apakah KPK bisa menjawab pesmisime itu. Kita berharap KPK bisa menjaÂwabÂnya. Apalagi ada kepenÂtingan-kepentingan yang tidak bisa kita pungkiri ada pada kasus-kasus itu,†katanya.
Nasir menilai, Komisi PemÂberantasan Korupsi sedang berÂgolak. Di tengah pergolakan itu muncul pesimisme publik. “Air tenang nyatanya di dalam berÂgolak-golak. Saya bilang, seÂperti itulah KPK ini. Mereka mesti bisa selesaikan kasus-kasus itu. Hanya itu pembuktian agar pesimisme masyarakat tiÂdak semakin menumpuk kepada KPK,†ucapnya.
Semestinya Didakwa Dalam Satu Dakwaan
Yenti Garnasih, Pengamat Hukum
Wanita yang kerap menjadi saksi ahli kasus pencucian uang, Yenti Garnasih menyamÂpaikanÂ, KPK akan keteteran mengusut sejumlah dugaan korupsi Nazaruddin bila tak meÂnerapkan sistem pengusutan secara bersamaan.
“Memang kinerja KPK diÂperÂtanyakan dalam mengusut kaÂsus yang melibatkan NaÂzaÂruddin. Inilah kesalahannya, mestinya penyidik melakukan pengusutan secara berbarengan dan dimasukkan dalam satu dakÂwaan,†ujar dosen UniÂverÂsitas Trisakti ini.
Menurut Yenti, di dalam huÂkum pidana, apabila seseorang diduga melakukan lebih dari satu kejahatan, semestinya diÂdakwa dalam satu dakwaan.
“SeÂperti yang terjadi pada Marcos dan Imelda Marcos di Filipina. Mereka didakwa meÂlakukan tindak pidana korupsi lebih dari 200 korupsi, dan itu didakwakan dalam satu dakÂwaÂan,†katanya.
Sedangkan Nazaruddin keÂtika diperkarakan di pengaÂdiÂlan, masih ada perkara lain yang juga menjeratnya. “Penyidik seharusnya cepat mencari aliran dananya. Penyidik kita kan baÂnyak. Jadi bisa ditelusuri deÂngan cepat. Inilah tantangan KPK. Kalau saya lawyernya NaÂzaruddin, saya tidak mau kasusnya dipisah-pisah. Itu sangat berbelit-belit,†ujarnya.
Kata Yenti, pola penyidikan terpisah yang dilakukan KPK terhadap Nazaruddin malah mengacaukan sistem. Padahal Kitab Undang-Undang Hukum PiÂdana (KUHAP) sudah meÂmuat aturan yang baku.
“KeÂtidakmampuan KPK maÂlah mengacaukan sistem, paÂdaÂhal sudah dirancang dalam KUHP ratusan tahun lalu, itu suÂdah ada. Baca saja KUHP di baÂwah Pasal 63 ke bawah,†katanya.
Aturan itu pun dirinci melalui Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). “HaÂrusnya dalam satu dakwaan dan dakwaannya dikumuÂlaÂtifkan. Masing-masing diproses seÂkaligus,†katanya.
Dengan pola itu, lanjut dia, huÂkumannya maksimal. “DiÂtamÂbah-tambahkan semua, di kita dikenal dengan istilah kuÂmuÂlatif yang dipertajam. Di AmeÂrika malah kumulatif murni, makanya bisa sampai diÂvonis 90 tahun. Di kita, sayang sekali tatanan hukum dikaÂcauÂkan kepentingan politik,†katanya.
Satu lagi, lanjut Yenti, barang bukti dan aliran dana yang diÂsita, tidak boleh dipindahakan ke rekening penampung sampai ada putusan hukum tetap. “KaÂlau dipisah-pisah, malah bisa hilang sebagian aliran peÂnÂcuÂcian uangnya. Yang pindah berÂkasnya saja, tapi uangnya tak boÂleh pindah. Nanti disita seÂtelah putusan tetap dan langÂsung masuk ke kas negara,†ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13
UPDATE
Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59
Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39
Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16
Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55
Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36
Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16
Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58
Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32
Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15
Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52