RMOL. Bagaimana aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim tak sakit hati melihat para koruptor bisa berkurang atau bebas hukuman gara-gara mendapatkan remisi alias potongan hukuman.
Para penegak hukum itu sudah susah payah mencari alat bukti, fakta hukum, dan menemukan pelakunya melalui serangkaian proses hukum, mulai penerimaan pengaduan masyarakat, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai penjatuhan vonis.
Akibat adanya remisi, hukuman penjara berapa lamapun tak membuat jera para koruptor. Dengan demikian wajar bila penegak hukum menjadi tak bersemangat menangani kasus korupsi, karena sulit diberantas.
Keluhan tersebut diungkapkan sejumlah aparat penegak hukum kepada
Rakyat Merdeka, di Jakarta, belum lama ini.
Kepala Hubungan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi, Johan Budi SP, menilai, pemberian remisi kepada para koruptor bisa memutuskan semangat pemberantasan korupsi.
“Kalau remisi bebas diberikan kepada para koruptor, mereka pasti akan mengulangi perbuatannya itu. Jadi, tidak ada efek jera, dan apa jadinya negara ini,” katanya, belum lama ini.
Meski begitu, Johan mengaku, KPK tak bisa berbuat banyak, karena itu merupakan kebijakan pemerintah. “Itu sudah menjadi kewenangan eksekutif dalam hal ini Menkumham. Tapi kalau boleh saya sarankan, lebih baik remisi itu diberikan kepada yang memang betul-betul sudah berperilaku baik,” cetusnya.
Salah satu hakim agung di Mahkamah Agung, Salman Luthan menilai pemberian remisi kepada para koruptor itu tidak pas. “Secara pribadi saya berpandangan tidak pas. Kalau hakim memutuskan yang bersangkutan divonis sekian tahun, sebaiknya jalani saja hukumannya, jangan dapat remisi,” katanya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Babul Khoir Harahap, mengaku pasrah dengan kebijakan pemberian remisi itu karena sudah diatur dalam ketentuan undang-undang.
“Kami di Kejagung pada dasarnya mengikuti aturan hukum yang berlaku. Hanya saja perlu diingat kasus korupsi perlu penilaian yang lebih objektif dalam pemberian remisi,” katanya
Direktur Jenderal Lembaga Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Untung Sugiyono, mengaku tidak hafal dengan narapidana kasus korupsi yang mendapatkan remisi bebas.
“Nama-namanya saya tidak hafal,” katanya.
Untung hanya menyebut, para narapidana tindak pidana korupsi yang mendapat remisi bebas masing-masing satu orang berasal dari LP di wilayah Sumatera Barat, dua narapidana dari LP di Sumsel, lima narapidana di LP wilayah Banten, satu orang narapidana dari LP di Yogyakarta, satu narapidana dari salah satu LP di Jateng dan seorang lainnya berasal dari LP di Sulteng.
Meski demikian, ada pula koruptor yang mendapat batal mendapatkan remisi bebas, karena tak mampu membayar denda atau uang penggantinya. Misalnya, bekas Camat wilayah Bekasi, Jawa Barat, Ujang Bustaman, narapidana kasus korupsi dana Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Saat dimintai tanggapannya, Kalapas Bulak Kapal Bekasi, Basmanizar menuturkan, yang bersangkutan mendapat remisi bebas, tapi akhirnya batal, karena narapidana kasus korupsi dana BLT itu tidak mampu melunasi alias membayar denda subsider yang telah ditetapkan pengadilan Negeri Bekasi sebesar RP 50 juta.
“Dia harusnya bebas 17 Agustus lalu. Tapi karena tak bisa membayar denda subsider, dia harus menebus dengan menjalani tambahan satu bulan masa tahanan,” jelasnya.
Tapi ada juga napi kasus korupsi di Lapas Bulak Kapal Bekasi, yang bebas. Misalnya, Tutu Apriyanto narapidana kasus korupsi proyek Pemerintah Kabupaten Bekasi, Krisna SM dan Yusuf terkait korupsi RSUD Kabupaten Bekasi, Teguh dan Bambang Suproto terkait kasus korupsi pengadaan barang dan jasa di Sekolah Tinggi Transportasi Darat (STTD) Bekasi.
Dalam Surat Keputusan Kemenkumham RI nomor W.8- 2756. PK0104-2010 yang memuat daftar narapidana penerima remisi menyebutkan sedikitnya 58.234 narapidana di Tanah Air mendapatkan remisi 17 Agustus lalu. Dari total tersebut, 330 di antaranya adalah narapidana kasus korupsi yang mendapat kortingan masa hukuman satu sampai enam bulan ditambah 11 narapidana korupsi yang dinyatakan bebas.
Dalam bundel data itu disebutkan, para narapidana kasus korupsi yang dapat jatah remisi antara lain bekas Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Aulia Pohan yang masa hukumannya dikorting selama tiga bulan penjara.
Aulia konco-konconya yang terbelit kasus sama seperti Maman Somantri, Bun Bunan Hutapea dan Aslim Tadjuddin.
Bekas anggota DPR yang jadi terpidana kasus ini seperti Hamka Yandhu dan Anthony Z Abidin pun ikut dapat jatah remisi masing-masing dua bulan 20 hari.
Kembali ke Untung Sugiyono, dia juga membenarkan kalau bekas anggota Komisi IV DPR Al Amin Nasution yang terseret kasus korupsi proyek alih fungsi hutan lindung menjadi pelabuhan Tanjung Api-Api, Sumsel diganjar kortingan tiga bulan potongan masa tahanan.
Bekas anggota DPR dari Komisi Perhubungan, Bulyan Royan yang jadi terpidana kasus suap proyek pengadaan kapal patroli pun mendapat korting masa hukuman dua bulan 20 hari.
Bekas Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan yang dijadikan terpidana kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran Provinsi Jabar senilai Rp 30 miliar yang dapat hadiah remisi tiga bulan.
Di luar itu, bekas Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Theo F Toemion mendapatkan kortingan hukuman tiga bulan.
Kepala Biro Hubungan Masyakarat dan Protokoler Dirjen Lapas Kemenkumham, Chandra, membantah keras terhadap dugaan ketidakberesan pemberian remisi kepada narapidana kasus korupsi.
Menurutnya, banyak rekapitulasi data terpidana penerima remisi umum II alias bebas pada HUT RI kali ini belum semuanya masuk ke lembaganya. “Masih banyak kanwil yang belum mengirim datanya,” ucapnya.
“Hadiah Salah Sasaran”
Desmon Mahesa, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Desmon Mahesa, menilai, pemberian remisi kepada koruptor merupakan kebijakan yang melukai rasa keadilan.
“Apa yang diberikan kepada para koruptor itu ibarat hadiah yang salah sasaran,” katanya, belum lama ini.
Menurutnya, pemberian remisi kepada para koruptor tidak akan memberikan efek jera, justru akan semakin membuka lebar praktik korupsi yang sebesar-besarnya. “Makanya pemerintah harus lebih obyektif dalam memberikan remisi,” ucapnya.
“Aturan Remisi Mesti Diubah”
Marwan Batubara, Koordinator KPKN
Koordinator Komite Penyelamat Kekayaan Negara (KPKN) Marwan Batubara, menyesalkan, pemberian remisi kepada para terpidana korupsi ini. Menurutnya, para koruptor ini tidak pantas mendapatkan remisi.
“Undang-undang yang mengatur tentang remisi ini harus diubah, karena jelas tidak memberikan efek jera. Seharusnya bukan dikurangi hukumannya tapi justru diperberat,” katanya, belum lama ini.
Bekas anggota DPD ini menilai, pemberian remisi terhadap narapidana kasus korupsi mengusik rasa keadilan. Dia meminta agar pemberian remisi oleh Menkumham ditengarai dorongan pihak-pihak tertentu ditinjau ulang.
“Saya khawatir ada tangan-tangan kekuasaan dari luar yang mengatur ini.
Menkumham Patrialis harus bisa mempertanggungjawabkan ini,” tandasnya.
[RM]