Hal ini disampaikan Guru Besar Astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB), Dhani Herdiwijaya, dalam unggahan Bosscha Observatory, yang dikutip Minggu (26/5).
Menurut catatan sejarah, aurora memang pernah terlihat di Jepang pada 1859. Saat itu, aurora terlihat usai terjadi badai matahari terkuat yakni Badai Carrington.
"Untuk kenampakan aurora, berdasarkan sejarahnya bisa sampai ke Jepang (lintang 20-an derajat), yaitu pada saat badai matahari terkuat yang tercatat tanggal 1-2 September 1859," ungkap Prof Dhani.
Sejauh ini, belum ada laporan aurora terlihat di wilayah ekuator.
Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan fenomena itu bisa sampai ke wilayah-wilayah ekuator. Dengan catatan, ada badai matahari yang lebih kuat dari badai pada 1859.
"Tapi jika itu terjadi di era sekarang, boleh dipastikan akan terjadi kiamat satelit/kiamat internet, artinya lebih dari 80 persen satelit akan mati," jelasnya.
Adapun badai matahari pada 1859 adalah tsunami antariksa terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah.
Di mana pada Agustus 1859, astronom dibuat takjub dengan penambahan jumlah bintik di piringan Matahari. Di antara ilmuwan ini, terdapat pengamat langit amatir asal Inggris, Richard Carrington,
Pada 1 September 1859, Carrington dibutakan oleh kilatan cahaya yang datang tiba-tiba saat membuat sketsa bintik Matahari. Ia menggambarkannya sebagai 'suar cahaya putih'.
Fenomena itu berlangsung sekitar 5 menit. Suar tersebut kemudian diketahui sebagai Lontaran Massa Korona (Coronal Mass Ejection/CME). Dalam waktu 17,6 jam, CME melintasi lebih 150 juta kilometer antara Matahari dan Bumi dan melepaskan kekuatannya ke Bumi.
Selang sehari dari kejadian itu, Bumi mengalami badai geomagnetik. Badai itu memicu kekacauan sistem telegraf dan memunculkan pemandangan aurora di daerah tropis, yang bukan sesuatu yang lazim terjadi. Fenomena ini pun tercatat sebagai Badai Matahari paling dahsyat.
BERITA TERKAIT: