Kisah Mahabharata mengulas tentang cinta seorang raja pada anak-anaknya. Dia ingin agar anak yang berjumlah seratus orang menjadi penerus dinasti kerajaan. Adalah Drestarasta, yang ingin agar pada kurawa di bawah kepemimpinan anak pertamanya Duryudana menjadi pemimpin Hastinapura.
Drestarasta adalah cucu pertama dari Raja Santanu. Tapi dia gagal menjadi penerus ayahnya, Wicitrawirya karena terlahir tunanetra. Alhasil, tampuk kekuasaan Hastinapura jatuh kepada adiknya, Pandu, yang merupakan ayah dari Pandawa.
Namun kemudian, Pandu harus mengasingkan diri setelah dirinya memanah mati seekor rusa yang ternyata jelmaan dari seorang resi. Tak lama berselang Pandu meninggal di pengasingan dan Drestarasta kemudian diangkat sebagai pelaksana tugas (Plt) raja.
Dengan status tersebut, Drestarasta harus mengembalikan tongkat kerajaan kepada keturunan Pandu ketika mereka sudah siap dan cukup umur.
Sayang AnakDuduk di singgasana rupanya membuat Drestarasta menjadi kegirangan. Apalagi dari awal memang dia sudah mempersiapkan diri untuk menjadi raja. Andai kala itu dirinya tidak buta, mungkin jalannya menjadi raja resmi Hastinapura bisa terwujud.
Kebahagian menjadi sempurna tatkala dianugerahi seratus anak laki-laki, tanda tongkat kepemimpinan bisa diestafetkan keturunannya langsung. Anak pertamanya bernama Duryudana.
Duryudana sebagai calon penerus amat disayang Drestarasta. Apapun yang dimaui, pasti dituruti. Mengangkat sahabat menjadi seorang raja di wilayahnya pun dengan mudah bisa dilakukan oleh Duryudana.
Puncaknya, Duryudana meminta sang ayah menobatkan dirinya sebagai putra mahkota. Karena kecintaan, Drestarasta mengamini permintaan sang anak. Dia tidak mundur sekalipun ditentang oleh para sesepuh negeri, karena gelar putra mahkota seharusnya diberikan kepada Yudhistira putra Pandu.
Buntut dari kecintaan pada anak tersebut, kekacauan terjadi hingga Perang Bharatayudha terjadi dan seluruh keturunan Drestarasta dihabisi Pandawa.
Kisah di Negeri SeberangKisah kecintaan pada anak ini juga terjadi di negeri seberang. Seorang raja yang tidak pernah kalah bertarung dalam setiap pemilu yang dilakoni mulai memikirkan masa depan anak-anaknya. Dia ingin sang anak mengikuti jejak sukses dirinya hingga bisa menjadi penguasa negeri selama dua periode.
Alhasil, selama masih memegang tongkat kekuasaan, sang anak sebisa mungkin didorong untuk bisa berkuasa. Minimal di level walikota seperti dirinya meniti karir politik. Anak pertama berhasil menjadi kampiun di wilayah yang pernah diperintah sang ayah. Diharapkan karir politik anak pertama moncer, bisa jadi gubernur lalu presiden.
Tapi setiap perencanaan butuh plan A dan plan B. Untuk itu, disiapkan mantu dari anak kedua untuk turut memimpin kota di wilayah lain. Dengan begitu, raja punya dua opsi dalam mewujudkan impian anak-anak mulus di dunia politik.
Seiring berjalan waktu, anak ketiga ternyata tertarik juga untuk ikut-ikutan. Mumpung sang ayah masih menjadi pemimpin negeri. Sebuah kota di pinggiran ibukota pun disasar. Klaim bahwa keluarga sudah merestui juga ikut diumumkan ke publik. Setidaknya, para rekan-rekan sang ayah tahu bahwa dirinya sudah disetujui dan bisa mulai membantu pemenangan.
Kekuasaan memang menggiurkan, tapi membangun dinasti di negara demokrasi adalah hal yang tidak dibenarkan. Apalagi jika negara itu pernah mengalami masa reformasi yang menjadi pertanda rakyat tidak ingin ada lagi pemimpin diktator.
Sang raja harus belajar dari kehancuran Hastinapura. Hanya karena memaksakan kehendak agar anak menjadi penerus, negeri menjadi hancur lebur. Dan sang anak yang diharapkan bisa menjadi raja, justru harus tersungkur di makan zaman.
BERITA TERKAIT: