Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Agenda Joe Biden, Kapitalisme Baru dan Demokrasi

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dr-syahganda-nainggolan-5'>DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN</a>
OLEH: DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN
  • Minggu, 13 Juni 2021, 08:37 WIB
Agenda Joe Biden, Kapitalisme Baru dan Demokrasi
Ketika itu Wakil Presiden Joe Biden bertemu dengan Presiden Vladimir Putin di Moskow, Maret 2011./Net
JOE Biden melakukan lawatan luar negeri pertama ke Eropa, sejak dilantik pada akhir Januari lalu, dengan tagline "America is Back" yang dideklarasikannya di bulan Februari.

Kunjungan Biden ke Eropa ini untuk menegaskan bahwa "global values" yang berisikan "democracy, human right dan climate change" harus kembali dan menghancurkan otokrasi, menegakkan "human rights" serta menjaga lingkungan hidup dunia.

Otokrasi diarahkan pada permusuhan dengan Rusia dan RRC. Untuk RRC lebih khusus lagi Biden memaksudkan "perang" terhadap Belt and Road Initiative (BRI).

Khusus untuk “climate change" ini, ada yang menarik. Dalam pidatonya di hadapan tentara AS yang bertugas di Lanud Mildenhall, Inggris, Biden mencontohkan Indonesia sebagai negara yang tengah menghadapi persoalan serius karena pemanasan global.

"Because there’ll be significant population movements, fights over land, millions of people leaving places because they’re literally sinking below the sea in Indonesia; because of the fights over what is arable land anymore," tulisnya seperti dikutip dari WhiteHouse.gov (Rabu, 9/6).

Lawatan pertama dalam rangka America is Back" ini merupakan upaya merekonstruksi kembali tatanan global lama yang dipimpin Amerika bersama sekutunya di Eropa yang selama empat tahun belakangan dihancurkan presiden Amerika yang lalu, Donald Trump. Tatanan lama ini merupakan catatan sejarah sepanjang 250 tahun Kapitalisme Barat.

Sebelum Trump berkuasa, globalisasi dikendalikan dengan nilai-nilai Amerika (Barat) berupa kebebasan dan demokrasi. Kapitalisme dijalankan Amerika dan Eropa serta lembaga-lembaga yang mereka ciptakan, seperti PBB, NATO, IMF, World Bank, WHO, dan lainnya.

Hampir seluruh elit negara-negara dunia yang masuk dalam barisan Kapitalisme global diseragamkan pemikirannya melalui kampus-kampus dan berbagai "leadership programs", baik pemikiran ekonomi, sosial maupun politik.

Namun, Trump dalam waktu cukup singkat mampu memporak-porandakan seluruh tatanan tersebut, antara lain dengan mencela NATO sebagai organisasi usang, memulai kunjungan luar negeri ke Arab Saudi, bersahabat dengan Presiden Putin, melakukan perang dagang habis-habisan dengan RRC dan juga Eropa, mengajak RRC ke arah perang militer di laut China Selatan, dan lainnya, dalam tagline "America First".

Apa yang dilakukan Trump, soal iuran NATO, rencana penarikan militernya dari Jerman, serta tarif dagang terhadap negara Eropa  menyinggung perasaan negara-negara barat yang dulu sekutu utamanya.

Biden melakukan kunjungan yang padat sejak Rabu lalu (9/6) hingga Rabu depan (16/6) bertemu dengan Vladimir Putin di Swiss. Beberapa agenda yang telah dilakukan di Inggris adalah bertemu dengan tentara Amerika yang berbasis di sana, kemudian bertemu PM Inggris Boris Johnson, lalu pertemuan G7 (plus undangan fisik Australia, Korea Selatan dan South Afrika serta India yang hadir via online), kemudian akan berlanjut minggu depan ke Brussels, Belgia, bertemu dengan Uni Eropa dan NATO (pakta pertahanan Eropa), dan diakhiri dengan pertemuan dengan Putin di Swiss.

Seberapa jauh Biden mampu mendorong mimpinya menjadi kenyataan?

Pertanyaan ini banyak dibicarakan para ahli terkait banyak perubahan besar yang telah terjadi, baik selama era Trump maupun adanya pandemi Covid-19.

Beberapa tahun belakangan demokrasi mengalami kemerosotan besar. Negara-negara Eropa barat mengalami tekanan akibat populisme dan semangat anti imigran. Negara-negara Eropa Timur mengalami transisi kembali ke arah anti-demokrasi. Pemimpin Rusia, Putin, yang berkuasa lebih dari 20 tahun, menunjukkan contoh kestabilan negara anti-demokrasi, yang berpengaruh pada Eropa Timur. Bahkan Putin menjalin hubungan baik dengan kaum nasionalis ekstrim di Prancis dan Eropa lainnya, termasuk Turki.

Di Timur, kekuasaan Partai Komunis China dan Presiden Xi Jinping yang juga anti-demokrasi dan sangat otoriter pun menunjukkan stabilitas pengelolaan negara dan memajukan ekonomi masyarakat mereka. Kemajuan RRC telah berpengaruh pada transisi kembali berbagai negara ASEAN ke arah anti-demokrasi karena mencontoh RRC. Indonesia yang selama belasan tahun mencoba menjalankan demokrasi tampaknya belakangan juga ragu pada jalan demokrasi itu.

Selama Trump berkuasa di Amerika, dia sama sekali tidak memperdulikan tema demokrasi pada dataran global. Bahkan, Trump telah mencontohkan semangat anti-demokrasi dengan mengecam LGBTQ+ selama berkuasa serta menginspirasi berbagai demontrasi penuh kekerasan dari pengikutnya. Sehingga, para pengamat melihat Amerika sebagai negara demokrasi pun telah kehilangan keteladanan.

Demokrasi sendiri saat ini berhadapan dengan isu solidaritas. Biden menawarkan sumbang sebanyak 500 juta unit vaksin Covid 19 kepada negara-negara miskin dalam lawatannya ini.

Selama setahun lebih pandemi Covid-19, berbagai negara melihat kesombongan negara-negara Barat yang tidak berbagi dan berempati kepada negara-negara berkembang yang hidup dalam ketakutan.

Sebenarnya bukan hanya negara miskin. Lihatlah Italia. Negara yang masuk dalam kelompok negara maju dan sekutu Barat ini pun harus merasakan kesulitan yang luar biasa di awal-awal pandemi Covid-19. Bantuan pertama yang datang justru dari RRC, bukan dari negara G7. Demokrasi tanpa solidaritas tentu saja tidak bisa diharapkan sebagai contoh nilai-nilai yang baik.

Dengan demikian, dalam situasi pandemi yang belum memperlihatkan tanda-tanda akan berakhir, janji bantuan dari negara maju yang didengungkan Biden kembali menghadirkan harapan.

Uang adalah raja dalam krisis. Matthew P. Goodman, dari lembaga think-tank CSIS berbasis di Washington DC, beberapa waktu lalu, memperkirakan tentang pengeluaran dana stimulan sebesar 11,7 triliun dolar AS oleh Amerika, Jepang dan Jerman dalam mengatasi krisis ekonomi dan Covid 19 ini.

Pada April lalu, memang Biden baru memperoleh persetujuan 1,9 triliun dolar AS dari rencananya 6 triliun dolar AS. Namun, itu adalah jumlah yang fantastis, yang mampu menyelamatkan Amerika dan negara-negara yang dia bantu.

Konsolidasi G7 dapat juga menjadi konsolidasi keuangan kelompok negara maju itu dalam menyediakan stimulus bagi kebangkitan ekonomi, khususnya infrastruktur dunia. Tema kerjasama G7 adalah mengimbangi BRI China dengan tema antitesa "Build Back Better World".

Dalam laporan The White House dalam "President Biden and G7 Leaders Launch Build Back Better World (B3W) Partnership" (whitehouse.gov, Sabtu, 12/6), dikatakan bahwa konsolidasi ini akan mengimbangi BRI China secara global. Tema konsolidasi dalam B3W antara lain adalah HAM dan transparansi, serta tidak menciptakan jebakan utang kepada negara miskin, seperti yang dilakukan RRC.

Dengan demikian memang harapan Biden mengaitkan paket bantuan dengan demokrasi akan bersifat global.

Seberapa jauh tantangan konsolidasi yang mampu dilakukan Biden?

Dalam konteks G7, persoalannya antara lain terletak pada kepastian status Protokol Irlandia, yang mana menetapkan negara bagian Inggris tersebut, paska Brexit, tidak termasuk yang keluar dari satu market Uni Eropa. Kemudian, Italia yang sudah semakin dekat dengan RRC.

Apakah bisa diikat lagi dalam semangat Eropa? Lalu, Pemimpin Jerman Merkel yang sakit hati, mengetahui selama ini Amerika ternyata memata-matai dirinya. Dalam skala Uni Eropa dan NATO bagaimana nilai demokrasi dan konsolidasinya mampu benar-benar merangkul Turki dan negara eks Eropa Timur. Turki misalnya sudah membangun sistem persenjataan yang sebagiannya kompatibel dengan Rusia, bukan NATO.

Begitu juga, dari beberapa negara Eropa Barat ini, menurut catatan David Sanger dan Mark Lander dalam "Biden Tries to Rally G7 Nations to Counter China's Influence" (nytimes.com, Sabtu, 12/6) hanya Inggris saja yang loyal penuh pada agenda Amerika menghadang RRC. Padahal konsolidasi itu terutamanya adalah agenda anti RRC dan Rusia.

Biden juga menghadapi kesulitan terkait arah perjalanan Kapitalisme. Gerakan Biden dan orang-orang pendukung utamanya seperti Bernie Sanders, Stiglitz dan kaum kiri lainnya yang meyakini kenaikan pajak besar-besaran merupakan jalan keluar kesulitan ekonomi akan membenturkan negara dengan oligarki dunia. Seberapa kuat negara berhadapan dengan Walmart dan bisnis Donald Trump?

Hal ini akan mempengaruhi arah Kapitalisme. Apalagi kelompok-kelompok progresif dibelakang Biden selalu mendengungkan keadilan penghasilan CEO vs. pekerja yang harus dikoreksi.

Orang-orang kaya memang sangat berharap negara memberikan stimulus pada perusahaan-perusahaan mereka yang nyaris bangkrut selama pandemi. Jika Biden mampu mempengaruhi dunia baru yang mempromosikan equality, baik di barat maupun pada negara-negara berkembang, maka kemungkinan Kapitalisme nantinya akan lebih berwarna sosialistik.

Masalah perubahan iklim sendiri juga jadi beban besar dari agenda Biden. Trump selama berkuasa empat tahun menganggap climate change adalah hoax. Sehingga, secara global agenda ini kurang dipatuhi.

Biden harus kembali menyediakan porsi anggaran untuk memelihara hutan tropis, mengendalikan emisi CO2 dari industri, masuk kembali pada tema "Sustainable Development", dan lain sebagainya. Seberapa cepat isu ini dapat dilakukan?

Apalagi dalam masa krisis ekonomi saat ini, berbagai negara kembali menggunakan energi murah, seperti batubara, untuk keperluan industri. Apakah Biden bisa memberikan jalan keluar global yang tidak otoriter?

Bagaimana dampak inisiasi Biden ini terhadap Indonesia?

Melihat Biden merupakan orang yang gigih dalam agenda global, tentu saja gerakan ini akan berpengaruh pada Indonesia secara signifikan. Kebutuhan Indonesia pada bantuan pembiayaan tidak lagi dapat dilakukan dengan mudah melalui government to government, seperti misalnya permintaan bantuan pemerintah pada Jerman beberapa waktu lalu.

Konsolidasi G7 berarti konsolidasi kaum global yang akan mengikat tema bantuan dengan isu demokrasi dan perubahan iklim. Sri Mulyani sendiri beberapa hari lalu sudah merespon isu perubahan iklim. Dia  mengeluhkan kebutuhan besar Rp 266 triliun per tahun jika Indonesia masuk pada isu “climate change".

Belum lagi kesulitan jika semua paket bantuan G7 dikaitkan dengan demokrasi dan hak-hak asasi manusia.

Jika Indonesia memilih hubungan kerjasama lebih kepada RRC dan Rusia, maka perlu dilihat seberapa besar kebutuhan pembiayaan ekonomi saat ini dapat dipenuhi dua negara tersebut? Atau mampukah Indonesia mengambil jalan ketiga? Sebuah jalan kemandirian?

Semua ini memerlukan analisa lebih dalam. Biden masih beraksi di tahap awal. Kaum globalis menerima dengan senang. Namun, tantangan pandemi dan sayap kiri pendukung Biden dapat mempersulit ambisi Biden.

Pada tanggal 9 Juni lalu Biden memposting di akun Twitternya soal virus varian baru, varian delta, dari Inggris, yang menunjukkan masalah pandemi masih akan panjang. Ini artinya, tantangan besar di depan harus tetap kita waspadai bersama. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA