M. Qodari menjelaskan bahwa kewenangan yang dimiliki ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, yang saat ini dijabat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dinilai telalu besar.
“Ini keliru saudara-saudara sekalian,†ujarnya dalam sebuah video yang diterima redaksi, Minggu (14/3).
Dijelaskan Andi Arief bahwa dalam Partai Demokrat, kekuasaan tertinggi partai ada di kongres. Hasil kongres Partai Demokrat sejak 2010 telah memutuskan untuk diadakan forum majelis tinggi yang bertujuan untuk menjaga amanat kongres.
“Semua yang dipilih dan dihasilkan di kongres itu harus dijaga. Siapa itu? Yang pertama ketua umum. Kedua, AD/ART. Ketiga keputusan keputusan lainnya,†tegas Andi Arief.
“Jadi dalam AD/ART Partai Demokrat, majelis tinggi partai fungsinya itu,†sambungnya.
Singkatnya, jika ingin diadakan Kongres Luar Biasa (KLB) atau rencana mengubah ADS/ART, maka majelis tinggi partai harus menjaga agar tidak terjadi penyelewengan pada pelaksanaan AD/ART dan keputusan-keputusan partai.
“Jadi tidak semudah itu bagi partai politik seperti Partai Demokrat pada waktu itu dan sekarang untuk mengubah dan memainkan hasil kongres,†tegasnya.
Qodari sebelumnya mengatakan bahwa ada tanda-tanda brutalitas politik dalam AD/ART Partai Demokrat 2020. Salah satu yang dia singgung adalah pelaksanaan KLB yang membutuhkan dukungan dari dua pertiga DPD, setengah DPC, dan harus disetujui ketua Majelis Tinggi.
“Padahal dalam kongres Majelis Tinggi suaranya hanya 9, DPD 68, lalu DPC 514 kabupaten kota. Jadi yang berkuasa itu sesungguhnya siapa? Apa pemilik suara atau mayoritas suara atau ketua majelis tinggi?†katanya.
“Kalau Pak Bambang Widjojanto melihat ada brutalitas demokrasi atau fenomena yang namanya brutalitas demokrasi, jangan-jangan brutalitas demokrasi terjadi di dalam AD/ART Partai Demokrat tahun 2020," demikian Qodari.
BERITA TERKAIT: