Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Status Tanpa Foto, Hindari Fitnah

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/djono-w-oesman-5'>DJONO W OESMAN</a>
OLEH: DJONO W OESMAN
  • Kamis, 26 Maret 2020, 23:27 WIB
Status Tanpa Foto, Hindari Fitnah
Ilustrasi
PINTU lift, baru saja mengatup. Dalam lift ada saya dan dua wanita. Semua pakai masker. Menjaga jarak. Mendadak, saya batuk. Whaow... suasana kontan berubah.

Salah satu dari mereka membetulkan masker, yang sudah betul. Seolah menutup hidung. Seperti lupa, bahwa dia sudah pakai masker.

Dia manis, usia sekitar 35 - 38. Lincah. Kulit sawo matang. Body seksi 8. Maksudnya, berlekuk-lekuk gitu.

Satunya lagi, berpaling. Mojok. Menghadap dinding logam stainless. Mepet, di tombol-tombol angka, penunjuk level lantai.

Yang ini cantik, usia 25 - 29. Jilbab fashionable. Kulit putih. Body tipis proporsional.

Ternyata ada kejutan.

Wanita pojok - diam-diam - menekan tombol lift. Lampu tombol menyala, merah. Nomor tiga.

Astaga... dia mengubah tujuan.

Semula dia nomor lima. Saya enam. Sedangkan, si seksi 8 tidak menekan tombol. Berarti idem. Kalau tidak lima, ya enam.

Sekarang saya sadar. Wanita pojok ingin buru-buru keluar. Dia menunduk. Mengepalkan kedua tangan.

Waktu terasa bergerak lamban. Detik demi detik.

Eee... batuk saya menggonggong lagi. Bertubi-tubi. Nyerocos.

Kali ini saya sengaja. (Maaf) saya batuk-batukkan.

Reaksinya parah.

Wanita pojok, mengepal-kepalkan tangan. Seperti kebelet pipis. Atau, mungkin ingin menonjok wajah saya. Atau... entah-lah.

Si seksi 8, yang semula tenang, kini galau. Melirik saya, sinis. Dia melangkah maju. Mendekat, di belakang wanita pojok. Kayak antre gitu.

Pintu lift terbuka. Jreeeng...

Mereka keluar berebutan. Kabur dengan cepat.

Seksi 8 terseok-seok. Tergeol-geol. Efek sepatu tumit tinggi.

Pintu lift menutup lagi. Saya sendirian. Ketawa.

Itu terjadi Selasa (24/3/2020). Waktu saya ngantor. Di Atrium Setiabudi, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan.

Di gedung itu ada 5 lift. Sejak awal Maret lalu dibatasi, maksimal 3 orang per lift. Sebelumnya, bisa 12 orang per lift.

Satpam siaga. Ada 4 botol hand sanitizer nempel dekat lift. Semua orang pakai itu. Kayak anak kecil punya mainan baru.

Jidat pengunjung disenter thermometer. Jika lewat dari 37,5 dilarang masuk. Diusir keras.

Suhu tubuh saya berubah-ubah. Antara 35 - 36 koma sekian. Hanya tempo 10 - 20 menit, sudah berubah. Sebab, saya sering keluar-masuk. Sekadar merokok.

Jangan salah, saya batuk tadi ada sebabnya. Pada batuk yang pertama. Memang asli batuk.

Penyebabnya, sehabis makan siang. Tenggorokan rasanya gak enak.

Beberapa menit sebelum masuk lift, saya makan di warteg dekat situ.

Saya makan: Nasi, sup, sambal, perkedel. Sudah.

Selesai makan, tenggorokan bermasalah. Waktu mengunyah, gak masalah. Setelah makanan habis, agak beda dari biasa. "Serik" bahasa Surabaya. Atau garing.

Saat membayar, saya katakan ke pemilik warung:

"Perkedelnya gak kayak biasa, Bu."

Ibu pemilik warung mengamati saya. Tersenyum ramah:

"Tumben, bapak protes."

"Cuma lapor, Bu."

Sambil menerima uang kertas pembayaran saya, dia katakan:

"Bumbu perkedel tetap. Gak berubah."

Saya terima uang kembalian. Menyesal sudah komplain. Biasanya saya diam saja.

"Terima kasih, Bu."

"Sama-sama Pak."

Ternyata, Ibu itu masih bicara lagi:

"Pak, sekarang manajemen gedung sering maksa saya pake semprotan tangan."

Saya berlalu, tersenyum.

Satu-dua detik... Otak saya merangkai: Perkedel. Dikepal-kepal. Hand sanitizer.

"Bajingan... itu dia," kataku dalam hati.

Ingin rasanya membalikkan badan. Protes keras. Tapi, seketika itu juga saya batalkan. Percuma. Nasi sudah jadi sanitizer.

Juga, kasihan ibu itu. Toh, dia dipaksa Satpam pake hand sanitizer.

Tapi, kenapa dia masak perkedel? Dikepal-kepal? Diamput... Kejujuranmu melukai tenggorokanku.

Efeknya lebih ke psikologis. Galau. Saya jalan menuju lift.

Beberapa detik sebelum masuk lift, lagi-lagi, jidat saya diperiksa Satpam. Ditempeli thermometer. Disenter.

Lantas, Satpam memicingkan mata. Dahinya mengkerut. Memeriksa angka digital di thermometer.

"Lo..." katanya.

"Ya... pak?" tanyaku penasaran.

"Lo, pak," ujarnya lagi.

Dia menunjukkan themometer. Tulisannya: Low. Dia jelaskan:

"Lo, berarti di bawah 34, Pak."

"Sakitkah saya?"

"Tidak. Bapak sehat."

"Terima kasih, Pak."
"Sama-sama."

Buset... ini psikologis saya yang terganggu. Gegara perkedel. rmol news logo article

Penulis adalah wartawan senior 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA