Fakta menunjukkan, semajua papun peradaban dan pencapaian suatu bangsa tetap tak mudah untuk sepenuhnya bertoleransi dalam keberagaman sehingga diperlukan pengaturan. Sebagai contoh yang sering mengemuka adalah kesediaan dibangunnya rumah ibadah yang tak seagama.
Peliknya permasalahan rumah ibadah bukan hanya monopoli Indonesia sebagai negara baru berdemokrasi. Bahkan, di negara yang sudah mapan demokrasi dan kewargaannya sekalipun tetap tak mudah memutuskan izin rumah ibadah bagi minoritas tanpa kesediaan warga sekitar mayoritas yang berbeda terutama di permukiman yang relasi dan kontrol sosialnya masih kuat.
Pengamalan sewaktu mukim di Perth, Australia Barat, masjid sebagai rumah ibadah minoritas sulit berdiri di permukiman penduduk sehingga hanya bisa berdiri di kawasan hiburan Northbridge yang dikelilingi rumah bordir dan tempat hiburan malam yang penghuninya tak menetap sehingga lebih "toleran".
Kondisi ini juga terasa ketika kami terdampar di bilangan Orsel, tak jauh dari bukit Montmartre di bagian Utara kota Paris yang beken dengan Basilika Sacre-Coeur. Kawasan Montmartre ini tak hanya bersejarah dengan Gereja yang dibangun sebagai penghormatan atas rakyat Prancis yang gugur dalam perang melawan kerajaan Prussia atau Jerman pada 1870 tapi juga menjadi tempat sumber inspirasi sehingga maestro Picasso menghasilkan buah tangan yang luar biasa.
Di sekitar di wilayah Montmartre terdapat plaza yang cukup panjang membentang sejak dari stasiun Gare du Nord menuju Place de Clichy lalu Blanche, Pigalle, Anvers, Barbes Rochechouart sampai menembus ke pusat hiburan malam, Moulin Rouge.
Sepanjang jalan banyak pelukis memajang lukisan serta deretan toko-toko souvenir berderet-deret yang kebanyakanmigranmuslim dari JazirahArab, Al-Jazairdan Pakistan. Beberapa kali mengunjungi toko-toko souvenir sangat terasa nuansa Islamnya di mana lantunan tilawah Al-Quran berkumandang tanpa henti. Menjadi makin lengkap tak serasa di kota Paris, ketika rumah makan halal ala Turki bisa ditemui di setiap pojok blok pertokoan. Di sinilah, sisi positif daerah hiburan yang ditandai sikap lebih toleran terhadap perbedaan di dalam kemajemukan.
Berbicara toleransi, tak dipungkiri ada keragaman mewarnai pemaknaannya, sebagaimana tersurat dalam al-Qur’an, terhadap mereka yang didefinisikan sebagai non-Muslim. Al-Quran memberikan perbedaan teologis secara tegas terhadap mereka yang disebut orang kafir melalui pernyataan "untukku agamaku dan untukmu agamamu" (QS 109:6) dan "tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)".
Di samping teologis, al-Qur’an juga membuat perbedaan tegas antara Muslim dan non-Muslim dalam kerangka hubungan sosial dan politik sebagai contoh Al-Qur’an (QS 5: 51) menyatakan kaum Muslim untuk tidak "mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka."
Juga ayat yang sering mengemuka dalam beragam mimbar yang menyatakan: "Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepa¬da kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: ‘sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)’. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kamauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu" (QS 2: 120).
Di samping ada ayat yang menekankan "pembeda dan pemisahan," ada juga ayat yang menekankan prinsip sikap inklusif nan toleran. Hal ini bisa dilihat dari empat ayat dalam al-Qur’an.
Dalam QS (3: 64), diingatkan kepada ahli kitab agar berpegang "kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami (Muslim) dan kamu (ahli kitab), bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah."
Dilanjutkan dengan ajakan menuju
kalimah sawa’, yakni "menjadi umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman tentulah itu lebih baik bagi mereka" (QS 3: 110).
Juga melihat keragaman ahli kitab, "di antara ahli kitab ada golongan yang yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang)" (QS 3: 113), yang dipertegas dalam ayat lain yang menyatakan: "Dan sesung¬guhnya di antara ahli kitab itu ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit" (QS 3: 1999).
Berbeda dari ayat-ayat yang menyuguhkan sikap dan pandangan "intoleransi", empat ayat yang baru saja dikutip jelas-jelas mendorong kaum Muslim untuk hidup secara harmonis berdampingan dengan pemeluk agama non-muslim, dalam hal ini Yahudi dan Nasrani. Dan pesan al-Qur’an tersebut juga ditegaskan kembali dalam ayat lain sebagai berikut: "Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati" (QS 2: 62).
Ayat ini, di samping empat ayat lain yang dikutip di atas, mengindikasikan secara kuat bahwa Islam mengandung ajaran inklusif, dan selanjutnya menjadi basis bagi toleransi keagamaan. Dengan pemahaman yang tepat dan proporsional, maka akan berkembang sikap toleran nan inklusif dengan tetap berpegang pada jati diri keislamannya sehingga mampu menjadi pribadi muslim yang kokoh namun bersahabat menyampaikan pesan kebersamaan dan kedamaian.
Insya-Allah. [***]
Penulis adalag peneliti di The Inter-university Center for Social Science Theory and Methodology (ICS), University of Groningen, The Netherlands.