"Pembangunan Menara BCA dan Kempinski yang menurutnya termasuk dalam kategori bangunan-bangunan lainnya dalam perjanjian, merupakan sebuah tafsir belaka dan sangat bisa diperdebatkan,†kata Direktur Eksekutif Indonesia Law Reform Institute (ILRINS), Jeppri F. Silalahi, kepada wartawan (Selasa, 8/3).
Jeppri yakin, skema kompensasi terhadap PT. HIN akan sangat berbeda bila dalam rencana kontrak BOT itu tercantum pembangunan Apartemen Kempinski dan Menara BCA. Dia mengatakan, tidak mungkin bangunan yang sangat komersil dan menguntungkan didefinisikan sama dengan bangunan-bangunan lainnya dalam perjanjian. (Baca:
Pengacara Grand Indonesia: Kejagung Harus Bersikap Proporsional)
Menanggapi pernyataan Juniver Girsang selaku kuasa hukum PT GI yang menyebut perkara itu adalah perdata, Jeppri mengakuinya jika dilihat dari aspek legal formal perjanjian.
Tetapi perbuatan PT. CKBI-PT. GI yang bersiasat dan mengandung itikad tidak baik dalam praktik pelaksanaan BOT, dengan membangun Menara BCA dan Kempinski yang tidak ada dalam perjanjian, merupakan tindak pidana korupsi. Di sana ada unsur yang langsung maupun tidak langsung merugikan negara dalam konteks delik formil. (Baca:
Ada Kerugian Negara Dalam Kontrak BOT Dengan PT. Grand Indonesia)
"Menurut saya unsur tindak pidana korupsi sudah pasti ada. Jika Kejaksaan Agung lamban dan masih memiliki keraguan untuk menangani kasus ini, ada baiknya KPK segera mengambil alih kasus ini. KPK pasti dengan sangat mudah menelusuri semua kejanggalan-kejanggalan baik itu dalam perjanjian maupun dalam pelaksanaan," ujar Jeppri.
Dia meminta kasus ini tidak hanya dilihat bahwa PT. HIN mendapatkan kompensasi uang dan bangunan untuk lantas disebut untung. Masalahnya, mendapatkan kompensasi yang tidak proporsional merupakan kerugian yang harus dipermasalahkan karena merugikan PT. HIN sama saja dengan merugikan negara. Negara tidak boleh kalah dengan korporasi-korporasi yang sengaja merugikan BUMN.
[ald]
BERITA TERKAIT: