"Dengan anggaran sebesar itu, Kemhan harus melakukan beberapa hal, agar setiap rupiah uang negara yang dikeluarkan dapat lebih berdaya guna dan tepat guna," kata Wakil Ketua Komisi I, Mayjen TB Hasanuddin, kepada
Kantor Berita Politik RMOL beberapa waktu lalu (Rabu, 24/2).
Pertama, jelas TB Hasanuddin, perlu segera merevisi ulang konsep strategi pertahanan yang ada, dengan lebih merespons trend perkembangan geopolitik dan geostrategi di kawasan utara Indonesia. Kedua, dengan atas dasar revisi itu maka kebutuhan alutsista termasuk gelarnya pun perlu redisposisi ulang sehingga blue book renstra yang lama perlu direvisi agar lebih cocok dengan situasi aktual saat ini
"Ketiga, pengadaan alutsista harus tetap berbasiskan pada produk dalam negeri. Sesuai UU industri pertahanan, TNI diizinkan melakukan pembelian dari luar negeri bila industri pertahanan di dalam negri belum mampu memproduksinya. Tapi tentu dengan berbagai persyaratan seperti alih tehnologi, keterlibatan industri dalam negeri dan persyaratan lainnya," ungkap TB Hasanuddin.
Keempat, lanjut TB Hasanuddin, pengadaan alutsista baik dari dalam maupun luar negeri, tetap harus menganut prinsip-prinsip transparansi. Sehingga harus ada sistim audit selama dan sesudah proses pengadaan yang dilakukan oleh Kemhan, seperti meliputi kualitas alat, jumlah/satuan alat, nilai harga, perlengkapan yang dipesan, suku cadang, sistim pemeliharaan dan waktu delivery yang disepakati .
Kelima, pengadaan alutsista harus mengintegrasikan ketiga matra serta mempertimbangkan fungsi lain dari alutsista tersebut. Di samping untuk kepentingan tempur, dalam keadaan darurat bencana sebagian alutsista tersebut dapat digunakan untuk pengangkutan logistik, SAR, rumah sakit apung dan lain-lain.
Keenam, pengadaan alutsista tertentu juga harus benar-benar memperhatikan keadaan geografi di wilayah Indonesia. Dan teori keseimbangan kekuatan tidak berarti harus dihadapi dengan merk yang sama, karena medan operasi dan strategi perangnya pun tiap negara pasti berbeda .
"Sebagai contoh, dalam kunjungan spesifik anggota Komisi I DPR RI pada tanggal 19 Februrai 2016 di Pasuruan dimana tank Leopard itu ditempatkan ditengarai bahwa tank kelas berat dengan bobot 63 ton ini memang sulit bergerak di jalan-jalan sempit dengan tekanan gandar lebih dari 60 ton , sehingga mobilitas untuk latihannya pun sangat terbatas," ungkap TB Hasanuddin.
TB Hasanuddin menambahkan bila di wilayah Jawa Timur, dimana Leopard ini berlokasi, latihan menembak hanya bisa dilaksanakan di satu tempat saja dan itupun hanya arah ke laut, bukan sasaran darat apalagi untuk latihan menembak dengan manuver. Sementara itu sampai saat ini, TNI juga belum memiliki alat angkut antar pulau untuk mengangkut tank bongsor ini lewat laut, sehingga tidak mudah mengoperasikannya di luar pulau Jawa.
[ysa]
BERITA TERKAIT: