Niatan impor tiga komoditas pangan itu disampaikan Lembong di sela-sela persiapan Perayaan Natal Nasional di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Minggu (27/12). Menurutnya, pemerintah sulit menghindari impor pangan pada tahun 2016 demi menjaga ketersediaan dan meredam kenaikan harga di pasar dalam negeri.
"Neraca perdagangan tahun 2015 kita surplus cukup besar sehingga masih ada ruang untuk impor pangan. Kita harus menjaga keseimbangan supaya neraca jangan terlalu amblas, di sisi lain jangan sampai harga pangan melonjak," kata Lembong.
Lembong mengatakan, surplus perdagangan pada tahun 2015 mencapai 7-9 miliar dolar AS. Namun, dia menyatakan belum puas dengan kondisi dan tren kenaikan harga pangan yang terjadi, dan untuk mengatasinya impor bahan pangan akan dilakukan.
Kata Lembong, langkah impor bertujuan untuk penguatan stok dan memenuhi kebutuhan domestik, serta menunggu peningkatan produktivitas sektor pertanian dalam beberapa tahun kedepan.
"Presiden dan Wapres sudah menyatakan beberapa kali bahwa swasembada pangan itu tujuan jangka menengah. Kita perlu waktu untuk 'menyerang' masalah dari akar atau fundamentalnya seperti pembangunan waduk, jalur irigasi dan memperbaiki logistik," kata Lembong.
Dirincikan Lembong, Indonesia merencanakan mengimpor sapi sebanyak 700-800 ribu ekor, sementara gula mentah di atas tiga juta ton, dan beras yang jumlahnya masih dihitung di kantor Menteri Koordinator Perekonomian dan bekerja sama dengan Perum Bulog. "Angkanya masih belum final. Untuk beras, saya yakin akan ada kebutuhan impor lagi di luar impor 1,5 juta ton yang disepakati pada September 2015," kata Thomas.
Menanggapi hal ini, peneliti lembaga kajian ekonomi,
Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmaf Heri Firdaus menyatakan aksi Menteri Thomas melakukan impor sebagai tindakan jalan pintas. Seharusnya, pemerintah lebih mengkaji lebih dalam soal data produksi dalam negeri sebelum memutuskan impor.
"Ini ambil jalan pintas namanya. Misalnya pertanian, kita itu surplus enam persen. Harusnya kita tidak usah impor gula dan beras," ujar Heri kepada
Rakyat Merdeka, semalam.
Heri menduga, jangan-jangan terjadi ketidaksinkronan data di dalam kementerian sehingga data yang dihimpun pemerintah berbeda dengan situasi di lapangan. "Takutnya data di kertas sama di petani dan peternak berbeda," katanya.
Untuk diketahui, November lalu Kementerian Pertanian melaporkan adanya surplus sektor pertanian. Rinciannya, prognosa produksi gula 2015 sebesar 2,72 juta ton atau meningkat 3,65 persen dibandingkan 2014 sebesar 2,63 juta ton. Begitu pun produksi daging karkas sapi dan kerbau 2015 diperkirakan 409 ribu ton. Jumlah tersebut meningkat 5,23 persen dibanding 2014.
Heri berharap, soal data di atas kertas jangan sampai merugikan petani dan peternak dalam negeri. Menurutnya, jika produk lokal melimpah namun impor datang, yang terjadi adalah harga jual produk lokal menjadi rendah.
Pengamat ekonomi dari Universitas Trisakti, Yanuar Rizki juga menyarankan pemerintah melakukan sinkronisasi data lintas sektor soal ketahanan pangan. "Perlu harmonisasi data yang solid dari pemerintah. Kita kan tidak tahu aslinya bagaimana," singkatnya.
Untuk diketahui, pemerintah memutuskan memutuskan untuk mengimpor beras dari Thailand dan Vietnam sebanyak kurang lebih 1,5 juta ton pada 2015. Bahkan, pemerintah juga mencari negara pemasok lain seperti Pakistan. Rencana impor ini disebabkan adanya pergeseran musim tanam akibat El Nino. ***
BERITA TERKAIT: