Demikian disampaikan pengamat militer dan intelijen, Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati, kepada
Kantor Berita Politik RMOL beberapa waktu lalu (Jumat, 20/11).
Pernyataan Susaningtyas ini terkait dengan kegaduhan yang tidak berdasar yang belakangan menjadi ramai dibicarakan terkait dengan kepulauan Natuna yang diklaim China. Disebutkan bahwa paspor terbaru China telah memasukkan pulau kaya gas alam ini di wilayahnya.
Tentu saja, ungkap Susaningtyas pernyataan-pernyataan terkait masalah ini tak berrdasar. Selain karena memang pada 2009 itu China tak mengklain kepulauan Natuna sebagaimana disampaikan kepada Sekjen PBB, juga karena jarak kepulauan Natuna dengan Pulau Spratley.
"Jaraknya lebih dari 400 mil Laut atau dua kali luas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)," kata Susaningtyas.
Susaningtyas pun menegaskan bahwa gambar garis-garis putus di Laut China Selatan di paspor warga China bukan suatu bukti hukum kepemilikan yang kuat dalam hukum internasional.
"Pemberitaan media dan pernyataan pejabat yang simpang siur tentang Laut China Selatan telah membuat kegaduhan yang tidak perlu. Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada satu pun negara yang mengklaim kepemilikan pulau-pulau Indonesia di Natuna," tegas Susaningtyas.
Susaningtyas menambahkan, dasar hukum kepemilikan Indonesia atas semua pulau-pulau di Natuna sangat kuat. Yakni ada di balik sabuk sakti laut teritorial 12 mil yang telah dideklarasikan oleh Djuanda pada 1958, diakui UNCLOS pada 1982 dan telah didepositkan di Sekjen PBB tanpa ada protes satu negara pun.
[ysa]
BERITA TERKAIT: