Konflik berkepanjangan ini, apalagi menyangkut dua agama yang berakar pada satu Nabi yang sama, Ibrahim ‘alaihissalaam, ditambah lagi menyangkut tanah suci yang diklaim oleh kedua agama Yahudi (Israel) dan Islam, tentu punya kontak batin amat kuat dengan Indonesia, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.
Seeing is believing. Pembuktian, hanya bisa dengan melihat fakta sebenarnya yang terjadi di sana. Masalahnya, Indonesia tak punya hubungan diplomatik dengan negeri Yahudi ini. Seakan tertutup dari mata Indonesia, bikin penasaran, apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan.
Singkat cerita, 24 Agustus lalu, Dr Colin Rubenstein AM, Direktur Eksekutif Australia/Israel & Jewish Affairs Council (AIJAC) bersedia membantu saya mendatangi Israel, lewat The Rambam Israel Fellowship Program. Program ini tak sekadar datang dan melihat, tapi sekaligus berdiskusi dengan banyak sumber. Tak hanya sumber-sumber Israel dari kalangan politisi, wartawan, masyarakat biasa, tapi juga dengan kalangan serupa dari warga Palestina. Baik dari warga keturunan Palestina yang tinggal di Israel, maupun mereka yang tinggal di kawasan otoritas Palestina yang sepenuhnya dikontrol faksi Fatah, di bawah kendali pemerintahan Mahmoud Abbas. Wow, menarik, menantang!
Awalnya saya ragu, apakah saya akan dibatasi dalam melihat fakta-fakta disana. Keraguan saya ini kemudian dijawab Colin di kemudian hari, "Anda bisa menulis apa saja yang Anda lihat. Jangan khawatir, kami tak akan melarang," jaminnya santai.
Saya dijadwalkan berada di Israel hanya sebentar, lima hari, dari 26 hingga 31 Oktober. Tapi undangan sudah saya terima sejak dua bulan sebelumnya. Dalam surel-surelnya Colin menjelaskan, saya akan menerima visa saat transit nantinya di Bangkok. Hmm, seru juga,†dalam hati saya. Karena biasanya, visa bepergian ke negera tertentu, kita terima di Jakarta. Tapi ya, Israel kan tak punya kedutaan besar di Jakarta.
Terkadang waktunya sempit sekali, hanya beberapa hari menjelang berangkat, baru visa diberikan. Kadang visa juga ditolak, atau minimal sulit diperoleh. Apalagi saat akan meliput ke Amerika Serikat paska serangan 911 silam misalnya. Waduh! Kawan saya sesama wartawan yang akan berangkat ke Amrik untuk meliput Pemilu AS pada 2008, tiba-tiba ditolak visanya tanpa penjelasan apapun. Padahal, saat itu dia sebenarnya justru diundang oleh sebuah lembaga di Amrik.
Cerita mau mendapatkan visa juga berbeda-beda kasusnya di masing-masing kedutaan besar. Apalagi bila kita yang, meski jelas-jelas untuk keperluan peliputan berada di negara-negara konflik, harus bersiap super sabar saat diwawancarai petugas urusan visa, "Apa yang Anda lakukan disana?", "Berapa lama?", dan seterusnya. Bila kita dapat visa, tentu plong. Tapi kita juga harus bersiap dengan kemungkinan terburuk, ditolak visanya.
Dan, meski saya diundang oleh AIJAC, adakah jaminan visa saya akan diterima? Belum ada kepastian. Menantang, karena tak semua mereka yang mau datang ke Israel bisa begitu saja masuk, sepenting apapun tujuannya. Dari yang murni sekedar beribadah di Masjid al-Aqsha, beberapa ulama Indonesia diketahui ditolak masuk Israel; urusan politik, saat Marty Natalegawa jadi Menlu pada Agustus 2012, dia juga ditolak masuk Israel, hingga tragedi kapal Mavi Marmara pada Mei 2010 lalu, yang dihadang Israel saat akan menyampaikan bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Bagi ummat Islam, Masjid al-Aqsha adalah salah satu masjid penting di samping Masjidil Haram di Makkah dan Masjid an-Nabawi di Madinah. Penting, karena siapa pun yang datang kesana semata karena ingin shalat, dosanya terhapus bersih seperti bayi yang baru lahir, kata Rasulullah saw seperti diriwayatkan An-Nasa’i, Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Al-Haakim, Al-Baihaqi dan lain-lain.
Di riwayat Ath-Thabrani dan Al-Bazzar, beliau saw juga menyebut, sekali shalat di al-Aqsha, pahalanya seperti 500 kali lipat dibanding di tempat, selain Masjidil Haram (Makkah) dan Masjid Nabawi (Madinah). Tapi, masjid ini kini berada di Yerusalem, yang diklaim sebagai ibukota Israel, meskipun tidak diakui secara internasional, maupun bagian dari Palestina. Secara de facto, kota ini memang dikuasai Israel. Para elit Israel menganggap kota suci ini bagian negaranya, dan itu adalah bentuk ideologi "Zionisme". Dari semua negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, hanya Kosta Rika dan El Salvador saja yang menempatkan kedutaan mereka di Yerusalem.
Yang lainnya, di Tel Aviv, karena menurut PBB, Yerusalem akan dijadikan Kota Internasional. Sementara oleh orang-orang Palestina, Yerusalem juga dianggap sebagai ibu kota Palestina. Yang jelas, tak sedikit tokoh ulama yang mau datang ke Masjid al Aqsha ini akhirnya ditolak. Bahkan ada yang tertahan di perbatasan Yordania.
Persoalan lainnya, ketika Marty Natalegawa menjadi Menlu pada Agustus 2012, dan ditolak masuk Israel, ketika akan mengikuti pertemuan Gerakan Non-Blok di Ramallah. Rencananya, Marty dan para menteri luar negeri dari 12 negara lainnya akan mengikuti pertemuan GNB tingkat menteri mengenai Palestina di Ramallah, Palestina, pada Ahad dan Senin, 5 hingga 6 Agustus 2012.
Namun pertemuan GNB tersebut dibatalkan, karena lima menteri luar negeri dari 13 menteri luar negeri yang akan mengikuti pertemuan tersebut ditolak masuk ke Ramallah. Kelima menteri luar negeri yang ditolak masuk ke Ramallah adalah menteri luar negeri dari Indonesia, Malaysia, Bangladesh, Kuba, dan Aljazair, yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.
Kasus lainnya yang menunjukkan tidak mudahnya memasuki Israel adalah, ketika terjadinya tragedi Mavi Marmara pada 2010 lalu. Saat itu, kapal para aktivis kemanusiaan itu menerobos blokade Israel menuju Gaza demi menyalurkan bantuan. Sembilan aktivis tewas, termasuk delapan aktivis asal Turki akibat ditembak pasukan pertahanan Israel (IDF) pada 31 Mei 2010. Atas kejadian itu, gugatan terhadap Israel bahkan diajukan di Den Haag pada Mei 2013 atas nama Yayasan Bantuan Kemanusiaan Turki (IHH) dan keluarga korban, dengan otorisasi dari Kepulauan Komoro, di mana kapal Mavi Marmara diserang.
Pengadilan ICC pada Maret 2014 mengambil petisi dan mengumumkan akan meluncurkan penyelidikan atas kasus itu. Namun, setelah meninjau permohonan atau gugatan, ICC menemukan, bukti atau dasar gugatan terhadap kejahatan tentara Israel tidak cukup untuk dibawah yurisdiksi pengadilan.
Pengacara Israel, Nick Kaufman,mengklaim, kapal Mavi Marmara sengaja dimanfaatkan untuk melawan Israel di ICC. Penolakan itu memicu spekulasi, bahwa Israel memiliki status khusus di ICC sehingga gugatan kejahatan perang ditolak. ICC berdalih, kejahatan yang dituduhkan terhadap Israel bukan kejahatan yang cukup berat untuk dibawa ke pengadilan ICC. Lalu, bagaimana kira-kira dengan saya?
Bersambung
BERITA TERKAIT: