Menentukan calon utama untuk dimajukan menuju pemilihan
head-to-head. Salah satu perdebatan ideologis kedua partai politik itu adalah size birokrasi pemerintahan yang akan menjalankan platform politik mereka.
Partai Republik dikenal dengan semboyan ideologi
small government. Sedangkan Partai Demokrat cenderung menafikan
size pemerintahan, tetapi lebih memilih efektivitas operasionalisasi program-program kebijakan politiknya. Jika tujuan yang ingin mereka capai memang memerlukan ukuran birokrasi pemerintahan yang besar,
why not. Tetapi dalam pandangan Republik, mesin birokrasi yang besar memerlukan biaya tinggi. Selain hanya membuat rakyat membayar pajak lebih banyak, pemerintah malah dibuat mencampuri banyak urusan
private.
Bagi banyak negara berkembang, kultur politik apatis membuat perdebatan seperti itu tidak sedemikian penting. Kita cenderung berjalan di tempat. Ketika mainstream global bicara "big government" atau "small government", kita justru tidak beranjak dari isu "big government" dan "bigger government". Tidak hanya dalam
size, tetapi juga dalam segala macam campur tangan urusan. Seolah-olah,
government is the only solution.
Saya tidak ingin memprovokasi gagasan Ronald Reagan yang selalu menyebut "
government is the problem". Tetapi jika kita semua menangani urusan publik
dengan cara-cara yang tidak banyak berubah seperti 15 tahun silam, ada baiknya publik mulai membenahi cara pandang yang lebih kritis terhadap ideologi politik
good governance.
Di sini, para pembantu Presiden Jokowi harus berkonsentrasi menuntaskan urusan yang menjadi tanggung jawabnya. Bukan malah saling berbeda pendapat dan mendiksreditkan kebijakan Presiden atau Wakil Presiden seperti kita saksikan belakangan ini. Kerapuhan tersebut hanya memberikan sinyal kepada publik bahwa memang benar "
government is the problem" seperti kata Ronald Reagan.
Kecenderungan itu sudah pasti akan menjadi obyek
entertainment media. Figur
seperti Rizal Ramli akan diberi
headline, dipuji, ditonjolkan dan diboyong sebagai "excepsionalisme" seorang individu. Kita memuja ilusi dan kita senang. Mungkin karena itu ilusi, sehingga tidak perlu merasa direpotkan jika kemudian terbukti keliru.
Saya tidak mencoba mengomentasi kebijakan atau seluruh pendekatan itu sebagai
cara yang keliru. Masalah yang saya lihat dan perhatikan adalah kita sedemikian mudah mengambil sebuah kebijakan dan tidak mencoba cara-cara penanganan yang lebih sistematis. Mungkin begitulah refleksi cara-cara instant yang senang kita lakukan dalam mencapai segala sesuatu yang menjadi kepentingan kita.
Bangsa kita tidak terbiasa untuk "repot" sedikit mendalami setiap persoalan. Itu menjelaskan mengapa kita sangat lemah dalam mengolah
policy discourse. Jadi ini bukan soal
size pemerintahan yang besar atau kecil, tetapi lebih kepada kemampuan untuk menggerakkan mesin birokrasi secara kreatif
(twitter@emteaedhir).
BERITA TERKAIT: