Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Imsaaak...Imsaaak!

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/muhammad-sulton-fatoni-5'>MUHAMMAD SULTON FATONI</a>
OLEH: MUHAMMAD SULTON FATONI
  • Jumat, 03 Juli 2015, 12:53 WIB
<i>Imsaaak...Imsaaak!</i>
BAGI para santri yang telah belajar fiqh tentu sudah tak asing dengan kata ‘imsak’. Syaikh Zakariyyah al-Anshari dalam kitab Tuhfatut Thullab menulis definisi ‘puasa’ adalah imsakun ‘anil mufthiri ‘ala wajhin makhshushin, artinya menahan dari sesuatu yang membatalkan dengan cara tertentu.

Saat santri berada di pondok pesantren maka ia temukan kata ‘imsak’ dalam kitab-kitab fiqh. Berbeda lagi saat santri berada di tengah masyarakat, kata ‘imsak’ sering ditemukan di bulan Ramadhan melalui pamflet-pamflet, brosur ‘jadwal imsakiyyah’. Sering juga ditemui melalui pengeras suara mushalla atau mesjid saat menjelang salat shubuh dengan suara berintonasi tinggi, imsaaakk...imsaaaakk.” Jika sudah dengar kata tersebut maka masyarakat muslim yang sedang ibadah makan sahur sontak berhenti dan mempersiapkan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa. Inilah makna ‘imsak’ di tengah masyarakat.

Saya baru saja dari luar kota dan kembali ke Jakarta. Saya dapat ‘oleh-oleh’ dari kunjungan saya ke satu desa di Kabupaten Klungkung Bali. Saya menemukan peristiwa unik terkait suara ‘imsak’ di tengah masyarakat muslim desa tersebut. Memasuki bulan Ramadhan, masyarakat muslim sekitar mesjid di desa itu tak ubahnya muslim di belahan daerah lainnya: bergembira menyambut Ramadhan. Mesjid disiapkan untuk tarawih, darusan dan aktivitas lainnya sehingga Ramadhan pun semarak dengan ibadah.

Memasuki hari ke-tujuh, suatu pagi Pak Ahmad -panggil saja begitu- tokoh Islam di Desa itu kedatangan tamu yang menyebut dirinya ‘ustadz'. Orangnya masih muda, kira-kira 35 tahun, usia yang jauh di bawah usia Pak Ahmad yang sudah memasuki kepala enam. Pak Ahmad pun terlibat perbincangan dengan sang Tamu.

"Pak Ahmad, saya minta agar teriakan-teriakan, 'imsaak...imsaaak..’ melalui speaker mesjid tiap menjelang shubuh itu dihentikan." Katanya.

Pak Ahmad heran, "kenapa?"

"Itu salah, Pak. Apa dalilnya meneriakkan kata 'imsak' di waktu menjelang shubuh? Tidak ada!" Kata Tamu tersebut.
 
Karena situasi tidak kondusif, Pak Ahmad mencoba untuk mencari solusi. Gagasan pun muncul dari sang Tamu.

"Diganti saja, Pak. Jangan 'imsaak..imsaakk...' tapi, 'waktu sahur telah habis'. Kalau kata 'sahur' ada dalilnya, Pak.” Urai si Tamu.

Pak Ahmad mengalah. Keesokan hari Pak Ahmad minta remaja-remaja di mesjid yang biasanya lantang bersuara, 'imsaak...imsaak' agar menggantinya dengan kalimat, 'waktu sahuuur telah habis'.

Hari pertama perubahan pun tiba. Menjelang waktu shubuh, terdengar suara dari speaker mesjid dengan redaksi yang baru, "Ibu-ibu..Bapak-Bapak...waktu sahuur telah habis. Sekali lagi, waktu sahuur telah habis." Speaker mesjid pun kembali beraktivitas memberikan aba-aba. Namun apa yang terjadi? Masyarakat muslim yang terjangkau suara speaker mesjid justru terus makan sahur dengan lahapnya dan santai hingga terdengar suara adzan shubuh. Kehebohan pun terjadi. Sebab selama ratusan tahun masyarakat sekitar mesjid tersebut tidak pernah makan sahur hingga adzan shubuh. Selama ratusan tahun mereka selalu punya waktu untuk bersiap-siap memasuki puasa Ramadhan, misalnya dengan berkumur sebersih bersihnya, sikat gigi, dan lainnya.

Rupanya masyarakat salah paham. Mereka menyangka lengkingan suara baru tersebut adalah tanda-tanda 'waktu sahur'. Mereka terkonsentrasi dengan kalimat, ibu-ibu Bapak-Bapak, waktu sahur.” Mereka tidak memperhatikan suara berikutnya, ...telah habis.” Feeling telinga mereka sudah terbiasa ratusan tahun bahwa kata ‘sahur’ itu berarti ‘makan-minum’. Kemanakah kata ‘imsak’ pagi ini? Pasti petugas mesjid itu lagi khilaf. Gerutu mereka.

Memasuki kegiatan pengajian sore di teras mesjid, masyarakat menumpahkan kekesalannya kepada Pak Ahmad. Mereka protes dan minta kepada Pak Ahmad agar mengembalikan lengkingan suara 'imsaaakk..imsaaakk'. Pak Ahmad pun mafhum atas tuntutan tersebut. Si tamu yang juga tinggal di sekitaran mesjid tersebut tak berkutik menyaksikan protes masyarakat. Saat saya bertemu Pak Ahmad kemaren, kata 'imsaaakk...imsaak' sudah kembali terdengar mengudara dari speaker mesjid desa tersebut.

*penulis adalah Wakil Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA