Hal ini disampaikan Jokowi saat bersilaturahmi dengan kalangan pers nasional di TVRI, Jakarta, Senin malam (27/4).
Menurut pengamat komunikasi politik dari Universitas Indonesia (UI), Ari Junaedi, dari pilihan kata dan diksi, pola komunikasi Presiden Jokowi memang perlu ditata. Ada baiknya Jokowi tidak menggunakan kata "tidak ambil pusing" mengingat hal tersebut menunjukkan kelemahan Jokowi.
"Masih ingat dengan pernyataan Jokowi asal main tanda tangan Perpres kenaikan uang muka kendaraan dinas untuk pejabat ? Hal ini makin memperlihatkan tata komunikasi Jokowi memang payah. Empati seorang Presiden tidak nampak ketika menyatakan hal-hal penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak," sergah pengajar mata kuliah Humas Politik di FISIP UI ini kepada
Kantor Berita Politik RMOL beberapa saat lalu (Selasa, 28/4).
Menurut Ari Junaedi, yang juga pengajar Program Pascasarjana UI ini, ke depan baiknya Jokowi lebih menggunakan peran jurubicara untuk menjadi "jembatan" penyampai pesan antara dirinya dengan media. Apalagi media, yang senang memakai kata-kata yang seksi, akan memberitakan ketelanjangan makna. Akibatnya, pembaca akan mengartikan lain sesuai dengan pemaknaan media.
"Keluguan dan kepolosan Jokowi sangat rentan dengan plintiran dan agenda setting media sehingga Istana harus menyadari pentingnya kehadiran jurubicara presiden," ujar Ari Junaedi yang meraih penghargaan World Customs Organization Sertifikat of Merit 2014 karena dianggap berhasil menata pola komunikasi Bea Cukai Indonesia.
[ysa]
BERITA TERKAIT: