Direktur Eksekutif Maarif Institute Fajar Riza Ul Haq menghormati langkah Kepolisian tersebut.
Namun, keputusan Polda tersebut sangat disesalkan mengingat sudah ada MoU antara Dewan Pers dan pihak Kepolisian RI yang menyepakati mekanisme Dewan Pers dalam menyikapi laporan masyarakat terkait pemberitaan pers yang melanggar Kode Etik Jurnalistik.
Mestinya, Kepolisian mempertimbangkan pandangan Dewan Pers dalam kasus ini.
"Langkah kepolisian itu membuka ruang adanya kriminalisasi pers, terlebih kasus ini sudah dianggap selesai oleh Dewan Pers seperti dinyatakan anggotanya Yosep Adi Prasetyo," ujar Fajar dalam keterangan persnya (Jumat, 12/12).
"Apalagi kasus-kasus dugaan penistaan agama sangat rentan ditunggangi motif politik yang tidak jarang mengeksploitasi isu-isu SARA.
The Jakarta Post sendiri sudah meminta maaf karena dinilai sudah melanggar etika jurnalistik," sambung Fajar.
Lebih lanjut, pihak Kepolisian hendaknya mendengar pandangan dari beragam tokoh dan organisasi keagamaan mengenai kasus-kasus dugaan penistaan agama.
"Lembaga negara tidak bisa hanya mendengarkan opini hukum dari lembaga maupun individu tertentu, apalagi yang jelas-jelas punya conflict of interest dengan kasus yang diadukan. Ini agar negara lebih terbuka dan bersikap fair dalam menegakkan hukum. Kita harus belajar dari kasus-kasus semacam ini seperti yang terjadi di Pakistan beberapa waktu lalu," tegasnya.
"Negara perlu bersikap sangat rigid dalam menyelesaikan pengaduan penistaan agama. Ini bisa jadi alat politik yang membahayakan jika tidak ada standar jelas dan kontrol publik," pungkas kader muda Muhammadiyah ini.
[zul]
BERITA TERKAIT: