Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menghitung Harga Keekonomian BBM

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/gede-sandra-5'>GEDE SANDRA</a>
OLEH: GEDE SANDRA
  • Rabu, 19 November 2014, 23:22 WIB
Menghitung Harga Keekonomian BBM
APAKAH yang sebenarnya dimaksud dengan harga keekonomian BBM? Apakah benar ini merupakan istilah lain dari harga BBM di pasar internasional? Atau ini merupakan harga yang mencerminkan biaya pengadaan BBM di dalam negeri? Banyak pengamat ekonomi yang mempertanyakan tentang ini, namun hingga sekarang masih "barangnya" sendiri masih teka-teki.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, dengan kenaikan hingga Rp8.500/liter semalam, menyatakan bahwa sebenarnya masih terdapat subsidi (atau selisih dari harga keekonomian) Rp1.500/liter. Yang artinya harga keekonomian versi ekonom UI ini sebesar Rp10.000/liter. Pihak Pertamina sendiri menyatakan bahwa harga keekonomian BBM adalah sebesar Rp8.600/liter, yang berarti subsidi adalah sebesar Rp100/liter. Sementara itu terdapat dua cara menghitung harga keekonomian BBM yang lain.

Cara I
Dalam perpres no 71 tahun 2005 disebutkan bahwa subsidi BBM adalah volume BBM bersubsidi dikalikan dengan selisih harga patokan dengan harga eceran. Volum BBM bersubsidi semisal seperti ditetapkan di APBN sebesar 46 juta kiloliter. Dan harga eceran adalah harga yang ditetapkan oleh pemerintah, semisal Rp8.500. Kemudian yang dicari adalah harga patokan.

Berdasarkan kepmen ESDM no. 2187/2014, definisi harga patokan (atau harga keekonomian) adalah MOPS ditambah alpha. Pada APBN-P 2014 MOPS ditetapkan sebesar 99,6 USD/barrel atau Rp 7.517/liter. Sedangkan alpha ditetapkan sebesar Rp733/liter. Maka setelah dijumlahkan, besar harga patokan adalah Rp8.250/liter. Kemungkinan harga patokan ini adalah yang dimaksud dengan harga keekonomian.

Sehingga, dengan kembali menggunakan rumus Perpes no 71 tahun 2005 (=46juta kL x (Rp8.250-Rp8.500)),  subsidi BBM menjadi minus, atau dengan kata lain negara untung, Rp11,5 triliun pertahun.

Cara II
Cara berikutnya agak lebih panjang. Yaitu pertama-tama dengan membagi biaya BBM menjadi 2 jenis. Pertama adalah biaya pengolahan BBM yang berasal dari minyak mentah dalam negeri (kita sebut BBM1) dan kedua adalah biaya pengolahan BBM yang berasal dari minyak mentah impor (kita sebut BBM2).

BBM1. Diasumsikan biaya eksploitasi minyak mentah  di dalam negeri sebesar 50 USD/barrel (ada praktisi eks BP Migas yang berpendapat nilainya dapat lebih kecil) atau Rp3.773/liter. Diasumsikan biaya pengiriman minyak mentah ke kilang di Singapura dan pengiriman kembali BBM ke Indonesia sebesar 30 USD/barrel atau Rp2.260/liter. Jika keduanya dijumlahkan, maka BBM1 biayanya sebesar Rp 6.033/liter.

BBM2. Dengan harga minyak mentah dunia sebesar 75 USD/barrel atau Rp5.660/liter. Dan biaya transportasi plus pengolahan di Singapura sebesar 30 USD/barrel atau Rp2.260/L. Ditambah lagi dengan biaya administrasi dan fee makelar 10 USD/barrel atau Rp754/liter. Sehingga total biaya BBM2 sebesar Rp8.674/liter.

Asumsi kebutuhan BBM setiap hari 1,5 juta barrel atau 238,5 juta liter. Kemampuan lifting dalam negeri 792 ribu barrel atau 125,9 juta liter. Kekurangannya adalah 708 ribu barrel atau 112,6 juta liter.

Maka dengan menetapkan harga eceran pemerintah sebesar Rp8.500/liter, kelebihan uang untuk biaya BBM1 adalah (Rp8.500-Rp6.033)/liter x 125,9juta liter = Rp310,5 miliar. Sedangkan kekurangan uang untuk biaya BBM2 adalah (Rp8.674-Rp8.500)/liter x 112,6 = Rp19,6 miliar. Selisih dari BBM1 dan BBM2 adalah negara kelebihan uang Rp 290,9 miliar. Kelebihan ini bila dibagi dengan total volume BBM menjadi Rp1.219/liter.

Artinya harga keekonomian BBM yang sebenarnya versi perhitungan alternatif ini adalah Rp8.500/liter dikurang Rp 1.219/liter, yaitu sebesar Rp7.281/liter.

Kesimpulan
Berdasarkan berbagai hasil perhitungan tersebut, dari keempatnya terdapat dua harga keekonomian BBM yang sebenarnya masih di bawah harga eceran Rp8.500/liter, yaitu cara hitung versi Perpres 2005 dan Kepmen 2014 sebesar Rp8.250/liter dan cara hitung alternatif sebesar Rp7.280/liter. Berdasarkan hitungan Menteri Keuangan, yang banyak dikritik karena tidak rasional, seperti oleh pengamat Yanuar Rizky dan Ichsanuddin Noersy, Pertamina yang sepertinya hendak cari muka menyelamatkan Jokowi memang pemerintah seperti tidak melanggar konstitusi (Putusan dan Ketetapan MK Desember tahun 2012 terkait Pasal 28 UU Migas 2001).

Namun jika akhirnya kelak harga keekonomian BBM sudah transparan, baru kemudian nasib pemerintah dapat diputuskan. [***]

Penulis adalah peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA