Tampaknya rencana pembentukan kementerian gabungan ini baru didasarkan pada amatan sekilas saja. Sedangkan karakter khas dari urusan perumahan rakyat dan perjalanan sejarah Kementerian Perumahan Rakyat yang panjang belum dijadikan pertimbangan yang memadai.
Setelah melalui kajian atas sifat-sifat urusan, kajian sejarah dan visi misi perumahan rakyat, maka bisa disimpulkan bahwa sebaiknya urusan perumahan rakyat tidak digabung ke dalam Kementerian Pekerjaan Umum. Artinya urusan Perumahan Rakyat memang membutuhkan sebuah kementerian tersendiri.
Setidaknya ada 10 alasan perlunya Kementerian Perumahan Rakyat yang berdiri sendiri. Pertama, pemenuhan rumah yang layak adalah hak dasar bagi seluruh rakyat yang telah diamanatkan UUD 1945 pasal 28H dan juga dikuatkan oleh UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM pasal 40, yang pada dasarnya mengacu pada Declaration of Human Rights yang telah diratifikasi hampir seluruh negara di dunia.
Atas dasar itu maka negara RI perlu menunjukkan upaya yang sungguh-sungguh untuk memenuhi hak dasar ini melalui kementerian tersendiri yang memiliki kewenangan yang memadai dan semakin diperkuat untuk mencapai target-target rumah layak bagi seluruh rakyat. Jika tidak, maka dunia bisa menilai RI tidak cukup serius dalam upaya pemenuhan hak-hak perumahan bagi seluruh rakyat dan mencapai target MDGs mengurangi permukiman kumuh.
Kedua, kondisi darurat perumahan rakyat di Indonesia sudah tidak tertanggulangi lagi ketika angka kekurangan rumah terus bertambah setiap tahun hingga kini sudah mencapai sekitar 15 juta unit.
Ketiga, sejarah perumahan rakyat dimulai sejak Kongres Rumah Rakyat tahun 1950 ketika Bung Hatta mencanangkan tercapainya rumah layak untuk seluruh rakyat setengah abad yad. Demikian pula di era pemerintahan Soeharto, di mana setelah menyimak Kongres Habitat tahun 1976 di Vancouver maka pada 1978 Pak Harto membentuk Kantor Menteri Muda Perumahan Rakyat untuk memperkuat program papan di dalam negeri. Di dalam perjalanan Orde Baru, semua Menpera adalah Sekretaris Dewan Pembina Golkar, mulai dari Cosmas B, Siswono Y, Akbar T dan Theo S. Sedangkan Ketua Dewan Pembina Golkar adalah Presiden Soeharto sendiri.
Perjalanan sejarah ini menunjukkan betapa pentingnya urusan perumahan rakyat untuk diurus melalui kementerian tersendiri yang dipimpin oleh seorang menteri yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Presiden Soeharto pada masa itu sudah memahami urusan perumahan rakyat tidak bisa sebatas diurus pejabat setingkat dirjen, dan sejarah telah membuktikan banyaknya keberhasilan di bidang ini pada masa itu. Namun sejarah pula yang membuktikan kemunduran penanganan bidang ini di era reformasi hingga kini.
Keempat, karakter urusan perumahan rakyat memang berbeda dengan pekerjaan umum sehingga sebaiknya tidak disatukan. Ini bukan persoalan efisiensi, tapi memang kedua urusan ini berbeda. Jika digabung dengan Kemen-PU seperti bangun jalan, waduk, jembatan, pengolahan limbah, dsb, maka urusan perumahan rakyat akan aneh sendiri. Ini karena pekerjaan-pekerjaan PU bersifat proyek-proyek enjinering, sangat jelas paket proyeknya, kandungan teknisnya tinggi, manajemen proyeknya rumit dan nilai anggarannya besar. Sedangkan perumahan rakyat lebih banyak urusan dimensi sosial-ekonominya dan komunikasi dengan para-pihak dan melibatkan multi-pihak pemangku kepentingan. Dimensi-dimensi vital perumahan rakyat ini akan terancam terabaikan dalam iklim pekerjaan teknis ke-PU-an. Perbedaan mendasar ini membutuhkan penanganan yang berbeda, mulai dari paket proyek yang berbeda hingga pola komunikasi yang berbeda pula.
Kelima, perumahan rakyat itu bersifat multidimensi menyangkut urusan tanah, prasarana dasar, pembiayaan, perijinan di daerah, teknologi bangunan, pemberdayaan masyarakat, pengenalan arsitektur lokal, dan sebagainya. Sejak dahulu Menpera selalu berkoordinasi dengan Mendagri, Menteri PU, BPN dan Menkeu untuk suksesnya pencapaian target-target program. Kini di era pembagian kewenangan dan desentralisasi, Menpera juga perlu berkoordinasi dengan BI dan Pemerintah Daerah di berbagai tingkatan. Semua urusan koordinasi kebijakan di bidang perumahan rakyat ini sangat tidak efektif untuk bisa dijalankan oleh Menteri PU yang sudah disibukkan dengan target proyek-proyek besar ke-PU-an. Apalagi jika dijalankan oleh seorang pejabat setingkat Dirjen yang ingin mengkoordinasi Menteri-menteri lainnya.
Keenam, perumahan rakyat itu bersifat multisistem sebagaimana amanat UU Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman pasal 21 dan 22, yang terdiri dari sistem perumahan publik, perumahan swadaya, perumahan komersial dan perumahan khusus (sosial). Tujuan penanganan secara multisistem adalah untuk mencapai produksi rumah hingga 2,5 juta unit/tahun, di mana perumahan publik dan perumahan swadaya menjadi tumpuannya. Pembangunan blok-blok rusunawa harus dibenahi dengan menganut sistem perumahan publik yang baik. Program bedah rumah juga harus diperbaiki dengan menerapkan konsep perumahan swadaya yang benar. Pendekatan terpadu multisistem ini perlu didorong lagi untuk menjawab kebutuhan masyarakat, mengurangi backlog dan menuntaskan permukiman kumuh.
Ketujuh, perumahan rakyat itu adalah urusan yang melibatkan multistakeholders. Urusan perumahan rakyat tidak cukup antara pejabat kementerian dan kontraktor seperti halnya proyek-proyek di Kemen PU. Untuk menangani berbagai multidimensi dan multisistem tersebut, Kementerian Perumahan Rakyat harus menjalin hubungan yang harmonis dengan semua pihak, mulai dari antar-instansi pemerintah 0pusat, antar-instansi pusat-daerah, antar-pihak pelaku usaha pengembang perumahan, antar-pihak pembiayaan dan perbankan, hingga
antar-pihak berbagai komunitas dan dunia LSM.
Peran untuk merangkul multistakeholders ini harus fokus, dan tidak mungkin dijalankan pejabat setingkat Dirjen atau Menteri yang perhatiannya terbagi-bagi.
Kedelapam, urusan perumahan rakyat itu sangat kompleks. Ketika multisistem penyediaan (ke-6) masing-masing djabarkan melalui multidimensi (ke-5) dan melibatkan multistakeholders (ke-7), maka kompleksitas urusan perumahan rakyat akan semakin tinggi lagi. Pemahaman serba multi dari urusan perumahan rakyat ini bukanlah untuk mempersulit masalah, namun untuk menyelesaikan masalah secara efektif. Hal ini karena memang pembangunnan di semua sektor membutuhkan
delivery system yang baik. Sebagai contoh, bagaimana menangani urusan perumahan para purnawirawan dan warakawuri tentara dan polisi? Jika yang diinginkan hanya penyederhanaan penanganan, tinggal gusur saja mereka. Bahkan mereka digusur pakai senjata dan prajurit yang jadi anak buah suaminya semasa bertugas. Sungguh ironis sekali. Namun tindakan ini melanggar alasan ke-satu, bahwa perumahan adalah hak dasar warga negara.
Kesembilan, perumahan rakyat meliputi pula bidang perumahan swadaya yang tidak bisa dilepas begitu saja dan tidak sesuai jika digabungkan ke dalam urusan ke-PU-an. Bidang Perumahan Swadaya sangat sarat dengan aspek
community development-nya, sehingga untuk menjalankan sistem perumahan swadaya, seorang Menteri Perumahan Rakyat harus bisa memahami dinamika sosial yang berkembang di tengah masyarakat. Sebagai contoh, bagaimana menangani permukiman kumuh di Kampung Pulo yang sudah melewati masa 6 Presiden dan 6 Gubernur Jakarta namun belum beres-beres juga misalnya? Jika tidak mau repot-repot memahami, tinggal gusur saja mereka. Namun tindakan ini juga melanggar hak asasi warga negara.
Alasan terakhir, urusan perumahan rakyat memiliki aspek Pembiayaan Perumahan, yang sangat berbeda dengan pembiayaan infrastruktur ke-PU-an. Untuk mengendalikan sistem perumahan komersial, seorang Menteri Perumahan Rakyat harus bisa memahami mekanisme pembiayaan dan dinamika pasar/industri properti. Bidang pembiayaan perumahan juga sangat terkait dengan dana-dana masyarakat seperti tabungan perumahan rakyat (tapera), serta terkait pula dengan sistem pembiayaan properti yang melibatkan otoritas keuangan seperti BI dan OJK. Sedangkan Kemen-PU tidak ada urusan dengan OJK dan BI dalam soal pembiayaan pekerjaannya dan tidak (justru tidak boleh) terkait langsung dengan bisnis properti.
Sebagai solusi, sebenarnya ada pendekatan kelembagaan yang lebih baik untuk mengatasi tumpang tindih urusan perumahan rakyat dan PU, tanpa mengganggu karakter masing-masing urusan. Di dalam usulan Pokja Perumahan Rakyat rumah transisi sudah diusulkan agar Kementerian Perumahan Rakyat justru diperkuat dengan urusan permukiman dan perkotaan. Yaitu dengan menggabungkan Cipta Karya dan Tata Ruang (perkotaan) ke dalamnya. Dengan struktur baru seperti ini, selain tetap menjaga urusan perumahan rakyat yang ada unsur sosial-ekonominya, juga menghilangkan tumpang tindih dalam urusan prasarana permukimannya.
Berbagai kegagalan urusan perumahan rakyat pada pemerintahan reformasi hingga kini adalah karena mispersepsi terhadap tata-kelola perumahan rakyat. Disangkanya urusan Menpera sebatas mengendalikan tender rumah susun. Disangkanya sebatas bagi-bagi duit untuk bedah rumah, atau disangkanya pula sebatas gunting pita peresmian proyek pengembang swasta. Yag lebih parah adalah motif untuk mengendalikan placement dana-dana besar seperti FLPP, Bapertarum dan SMF hingga senilai lebih dari 20 triliun rupiah. Namun kekeliruan selama 15 tahun pemerintahan reformasi tidak berarti Menpera harus disatukan dengan Kemen-PU. Yang perlu dilakukan adalah benar-benar membenahi dan memperkuat posisi Kementerian Perumahan Rakyat untuk mencapai rumah layak huni untuk semua rakyat dan kota-kota tanpa permukiman kumuh.
Urusan perumahan rakyat bukannlah urusan teknis konstruksi, karena perumahan rakyat sejatinya adalah pelaksanaan dari strategi kebudayaan dan membangun karakter bangsa. Untuk itu pemerintahan baru Jokowi-Kalla perlu memprioritaskan program perumahan rakyat secara konsekwen dan menunjuk seorang Menteri yang tepat sebagai pembantu presiden
. [***]Ditulis oleh M. Jehansyah SiregarPenulis merupakan Staf Dosen ITB, Anggota Laboratorium Perumahan dan Permukiman SAPPK ITB dan Ketua Pokja Perumahan Rakyat Tim Transisi Jokowi-JK pada Agustus-September 2014
BERITA TERKAIT: