"Ya harus. Kalau tidak, tinggal tunggu saja petani bukan hanya demo, mereka suatu saat bisa meledak. Kalau setiap panen yang tumpuk adalah utangnya, lama-lama mereka meledak walaupun petani, khususnya di Jawa itu, memiliki sifat
nrimo," kata Direktur Utama PT Gendhis Multi Manis, Kamajaya, saat dihubungi kemarin.
Menurutnya, komoditi pangan yang berbasis komunitas besar seperti petani padi, gula, jagung, termasuk produk peternak dan nelayan, tidak boleh Kementerian Perdagangan yang punya pegang peranan. Tapi harus dikendalikan oleh kementerian yang memang tahu produksi di lapangan.
"Kalau sekarang kan nggak, yang pegang kendali Kementerian Perdagangan. Mereka nggak mikirin apa yang terjadi pada para petani dan nelayan. Sekarang gini, kemarin harga gula petani dilelang Rp 8.250 saja, ora payu. Karena gula impor dijual di bawah itu. Jadi nggak match, jomplang banget, (kemendag) berat ke kapitalis, petani diinjak terus," kesal Kamajaya.
Kamajaya menambahkan, Indonesia harus mencontoh India soal bagaimana membangun pola kerja Kementerian Perdagangan dan Pertanian. India negara berpenduduk lebih dari 1 miliar itu juga berbasis petani.
"India itu menjadikan kebijakan perdagangannya sebagai sub kebijakan produk pangan mereka. Jadi India itu impor atau ekspor ngggak boleh sembarangan, harus nanyain dulu kondisi produksi dan harga petani mereka bagaimana. Baru mereka gunakan basis itu untuk ambil kebijakan perdagangan. Kalau kita dibalik, yang penting impor, ambil gampangnya saja. Dan itu hanya dinikmati segelintir kapitalis yang memang mencari rente," ungkapnya.
Dengan kebijaan itu, India tak perlu takut kalau diberi sanksi oleh World Trade Organization (WTO). Seperti India, Indonesia juga mestinya tak perlu kuatir untuk memproteksi produk dalam negeri.
"Jangankan India, Iran saja disanksi sampai 20 tahun nggak masalah. kenapa kita mesti takut," tantangnya.
Menurutnya langkah tersebut harus ditempuh kalau Indonesia mau mewujudkan kemandirian pangan.
[zul]