"Ide awal dari Tim Transisi cukup baik. Tetapi dengan semakin bertambahnya personil tim akan mengacaukan program kerja yang digadang-gadang Jokowi-JK ketika kampanye," ujar Analisis Politik dan Ekonomi Labor Institute Indonesia, Andy William Sinaga kepada redaksi (Senin, 25/8).
Menurut dia, banyaknya orang yang terlibat dalam tim transisi akan sarat dengan kepentingan-kepentingan politik oknum-oknum tertentu. Mereka bisa membawa misi-misi tertentu dari "sponsor-sponsor" yang ingin mendudukkan orang-orangnya dalam kabinet Jokowi-JK.
"Tim transisi bukanlah bentuk dari organisasi formal sehingga tidak banyak orang terlibat. Kalaupun diperlukan sebenarnya tim transisi cukup diisi 5 hingga 10 orang dan tidak perlu ada penasihat," paparnya.
Jika ingin mendapat masukan-masukan untuk program utama, kata Andy, Jokowi sebenarnya cukup mengundang pakar. Untuk urusan tol laut, misalnya, Jokowi bisa mengundang pakar-pakar tol laut dari Jepang, Korea, Belanda dan Amerika Serikat yang sudah sukses membuatnya. Sedangkan untuk program Indonesia sehat dan cerdas atau pembenahan infrastruktur, Jokowi bisa meminta perguruan tinggi ternama di Indonesia untuk membuat kajian ilmiah.
"Jokowi harus berpikir ulang menjadikan tim transisi sebagai
policy guidance. Sebaiknya Jokowi mengundang pakar-pakar di bidangnya untuk berdiskusi secara simultan tentang program kerjanya, atau mengundang beberapa perguruan tinggi dalma negeri untuk membuat kajian tentang program-program kerja sebagai Presiden RI," demikian Andy.