Atas Nama Konstitusi, MK Dapat Anulir Keputusan KPU

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ade-mulyana-1'>ADE MULYANA</a>
LAPORAN: ADE MULYANA
  • Rabu, 20 Agustus 2014, 18:42 WIB
Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa berdasarkan Konstitusi, UUD 1945, kedaulatan tertinggi di Republik ini berada di tangan rakyat. Sejalan dengan itu, kata Prof. Yusril, sebagaimana juga ditegaskan oleh Pasal 6A ayat (1) UUD 1945, rakyat melalui Pemilu berwenang untuk menentukan siapa yang akan menjadi presiden dan wakil presiden Republik Indonesia.

“Karena itu, maka pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam wujud menentukan siapa yang akan menjadi presiden dan wakil presiden dalam kurun waktu 5 tahun, bukanlah sekadar persoalan norma hukum yang biasa, tetapi berkaitan langsung dengan norma konstitusi,” papar mantan Menteri Sekretaris Negara ini seperti tertulis dalam keterangan persnya (Selasa, 19/8).

Mengaku terlibat dalam perumusan RUU Mahkamah Konstitusi, Yusril mengatakan kewenangan MK memang cenderung disederhanakan dalam hal sengketa Pemilu, yakni hanya mengurusi perselisihan yang terkait dengan perhitungan suara. Yusril berpendapat MK seharusnya menjalankan kewenangan yang lebih dari sekadar mengurusi angka-angka. Dia berharap MK Indonesia dapat bertindak seperti MK Thailand yakni menakar apakah Pemilu telah dilaksanakan sesuai dengan konstitusi.

Ahli Hukum Tata Negara, Irman Putra Sidin menegaskan bahwa persidangan perselisihan Pemilu yang kini sedang berjalan di MK, bukanlah pengadilan Pemilu tetapi pengadilan konstitusi. Berangkat dari pemahaman itu, menurut Irman, konstruksi hukum yang dibangun seharusnya tidak terbatas pada hukum Pemilu, tetapi menjangkau pula Konstitusi.

“Selama kita sepakat bahwa sidang Yang Mulia ini adalah sidang Mahkamah Konstitusi, maka ‘pisau pedah’ yang digunakan bukanlah semata hukum-hukum Pilkada, namun yang utama adalah hukum konstitusi,” urai Irman.

Hukum konstitusi tentang perselisihan hasil Pemilu presiden, menurut Irman, sesungguhnya memiliki prinsip yang sama dengan pengujian undang-undang, dimana produk mayoritas rakyat Indonesia melalui wakil mereka di DPR dapat dibatalkan ketika satu orang warga negara merasa dirugikan hak konstitusionalnya.

“Oleh karenanya, bukanlah hal yang aneh jikalau keputusan KPU atas hasil Pemilu yang juga keputusan mayoritas rakyat melalui bilik suara, ketika dinilai melanggar konstitusi, tentunya pula dapat dibatalkan secara konstitusional,” ujarnya beranalogi.

Irman mengatakan MK memiliki ruang konstitusional yang luas untuk menyatakan menunda penetapan KPU terkait hasil Pemilu presiden jika memang terbukti telah terjadi berbagai macam persoalan dalam Pemilu Presiden 2014. Alternatif lain, Irman menawarkan, MK bisa merekomendasikan kepada DPR paling lambat tiga bulan setelah dilantik 1 Oktober 2014, mereka harus sudah melakukan usul hak menyatakan pendapat atas hasil Pemilu ini. Dan jikalau usul itu tidak dilakukan, maka segala problematik atas hasil Pemilu dianggap sudah selesai.


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA