"Karena, video kekerasan terhadap anak di-
upload itu dari Indonesia, ada sekitar 70 ribu kasus di sosial media dan itu mengejutkan sekali. Padahal di Bangladesh hanya ada 3 ribu kasus saja," kata Ketua Yayasan Parinama Astha Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, di kawasan Sudirman, Jakarta hari ini (Rabu, 18/6).
Menurut Saras, angka tersebut sudah berada pada tahap mengkhawatirkan. Untuk itu, pihaknya tengah berusaha melakukan pencegahan dari internet service provider (ISP). Langkah pertama yang harus diambil untuk mengatasi hal ini adalah pemblokiran situs porno di internet.
"Kita juga mau kerjasama dari finance karena ada yang mau menonton itu bayar, dan itu bisa dilihat dari
track transaksinya. Sebab, diperkirakan nilai industri pornografi anak sebesar 50 miliar dolar AS pertahunnya," ujar dia.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Yayasan Safe Childhood International, Nathalia Kira Catherine Perry mengamini bahwa Indonesia adalah negara nomor satu di dunia yang mengunduh video child abuse di internet.
"Namun, bukan berarti Indonesia adalah kasus terburuk. Tapi di sosial media itu yang terburuk, Indonesia yang paling terparah," ucapnya.
Kasus semacam itu kata Nathalia tengah tren di internet. FBI sendiri melansir informasi bahwa terdapat 750 ribu pelaku kekerasan seksual terhadap anak di dunia maya. "Modusnya itu pelaku aktif mencari foto, video atau bahkan anak yang live bisa mereka jadikan korban kekerasan seksual. Child abuse material sangat bahaya untuk anak di dunia ini," katanya lagi.
Bahkan di dunia, lanjutnya, Indonesia berada di urutan 40 untuk masyarakat yang suka mengunduh dan menyaksikan foto-foro kekerasan seksual terhadap anak melalui internet. Data tersebut diperolehnya dari interpol.
"Namun demikian, Indonesia belum terhubung kepada komunitas internasional atau pelaku internasional, mungkin karena bahasa ada limitasi," jelas Nathalia.
[rus]
BERITA TERKAIT: