Jakarta Lebih Baik Kalau Benar-benar Sudah Layak Ditinggali

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/zulhidayat-siregar-1'>ZULHIDAYAT SIREGAR</a>
LAPORAN: ZULHIDAYAT SIREGAR
  • Senin, 27 Januari 2014, 12:52 WIB
Jakarta Lebih Baik Kalau Benar-benar Sudah Layak Ditinggali
rommy/net
rmol news logo Jakarta dinilai belum sama dengan ibukota negara-negara lain dalam hal kelayakan untuk ditempati. Hal itu berdasarkan apa yang dialami tokoh pemuda Jakarta yang juga calon anggota DPD DKI Jakarta, Rommy, yang pernah tinggal di Australia dan Uni Emirat Arab.

"Ketika saya harus tinggal dan bertahan hidup hampir selama 9 tahun di negeri orang (Australia dan UAE), saya bertanya apa yang menyebabkan rumah kedua saya itu lebih nyaman daripada rumah tempat saya lahir dan besar," ungkap Rommy dalam keterangannya (Senin, 27/1).

Jawabannya adalah karena kedua negara itu sudah benar-benar layak untuk ditinggali. Dimana fasilitas publik seperti taman terbuka, kebersihan ruang publik, transportasi publik sudah cukup memadai.

"Walaupun di daerah dekat saya menetap juga rawan dengan bencana alam seperti kebakaran hutan. Tetapi warga dan pemerintah dapat mengelola dengan baik musibah tersebut. Begitu juga harapan saya terhadap bencana alam banjir di Jakarta yang saya yakin dapat diminimalisir jika kita siap, mau dan mengikuti apa yang pemerintah siapkan untuk kita," imbuh Rommy.

Menurut Rommy, Jakarta yang lebih baik adalah Jakarta yang sudah benar-benar layak tinggal. Artinya, sebagai warga, kita bisa merasa nyaman, aman dan bebas dari segala bencana. Jakarta yang lebih baik adalah dimana warganya sudah lagi tidak melakukan perbuatan yang tidak pada tempatnya.

Pertama, setop buang sampah sembarangan. Kedua, setop mendirikan bangunan di daerah resapan air. Ketiga, setop menyebrang sembarangan (untuk pejalan kaki), Keempat,  setop berkendara bukan pada tempatnya, contohnya mobil pribadi masuk jalur busway, motor memakai jalur pejalan kaki dan sepeda.

"Menurut saya, pengguna sepeda harus diberi akses atau jalur khusus, dengan alasan pengguna sepeda tidak memakai BBM bersubsidi dan juga tidak menyumbang kemacetan dan polusi. Kelima, setop untuk tidak berjualan bukan pada  tempatnya. Menurut saya, PKL tak boleh berjualan di jembatan penyebrangan, trotoar, dan berjualan memakai ruas jalan," urai bekas aktivis Ikatan Pelajar Muhammadiyah ini.

Keenam, setop untuk tidak naik/turun kendaraan umum bukan pada tempatnya (untuk pengguna transportasi umum selain transjakarta). "Ini dilihat dengan masih banyak kendaraan umum  yang mangkal dan juga menaik dan menurunkan penumpang bukan pada tempatnya," tandas master jebolan Faculty of Arts University of Western Australia (UWA) ini. [zul]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA