Di satu sisi, niat membuat film tentang cerita dari Ranah Minangkabau dari novel karya Buya Hamka perlu diapresiasi dalam rangka menumbuhkan kesadaran dan kecintaan terhadap sejarah dan budaya di Minangkabau sebagai kekayaan budaya bangsa, khususnya mengapresiasi karya Buya Hamka, sehingga generasi muda tidak ahistoris.
"Tentu harus diapresiasi bahwa pembuatan film tersebut merupakan cara popular pendidikan budaya. Namun sangat perlu sekali untuk dicamkan dan dicatat, pembuatan film yang ada kaitannnya dengan adat istiadat dan sejarah budaya suatu peradaban suku bangsa di republik ini jangan disimpangsiurkan dan diputarbalikkan," kata Haryadi, putra Pasaman Sumatera Barat kepada redaksi, Selasa (07/01).
Haryadi pun menegaskan, film
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang telah beredar merupakan salah satu contoh film yang tidak mampu menampilkan nilai-nilai budaya dan adat istiadat Minangkabau seutuhnya. Hal tersebut dapat dilihat dari penampilan figur yang ada di film tersebut, dimana secara umum film tersebut kurang mampu mengangkat sisi budaya Minangkabau. Mulai dari gambaran berlakunya ABS-SBK (
adat basandi syarak-syarak basandi kitabullah) di nagari-nagari Minangkabau.
"Secara umum filmnya sangat bagus, artinya film tersebut mencoba mengangkat sebuah peristiwa besar di zaman penjajahan Belanda. namun ada yang menggelitik hati adalah adanya beberapa peran yang bertolak belakang lalu kemudian mengaburkan substansi adat Minangkabau," ujar eks anggota Ikatan Pelajar Mahasiswa Minang Bogor ini.
Haryadi tidak tahu apa maksud sutradara film menggambarkan seorang sosok gadih (gadis) Minang yang dilakoni Pevita Pearce dengan pakaian seperti itu. Setahu dia dan yang dipelajari dari sejarah, gambaran seorang sosok gadih Minang di Film tersebut yakni sosok Nurhayati yang dilakoni Pevita Pearce bukanlah gambaran gadih Batipuh layaknya Gadih Minang di zamannnya yang kental dengan nilai-nilai agama Islam jika itu terjadi pada tahun 1930-an. Bahkan yang sangat keliru sekali, kata Haryadi, dalam film tersebut begitu mudah seorang sosok gadih Minang yakni seorang Nurhayati (Pevita Pearce) melepas kerudungnya hanya karena cinta.
"Menurut Saya, sang sutradara harus belajar banyak sejarah Minangkabau, apalagi cerita film mengisahkan kejadian pada tahun 1930-an, di mana pada masa itu lagi kental-kentalnya penerapan ABS-SBK di tengah masyarakat Minangkabau," ungkapnya.
Menurut Haryadi, pembuat film seharusnya mengerti tentang peristiwa kebangkitan Islam di Minangkabau itu sejak kapan, dan harus mengerti bahwa pada abad ke 18 hingga abad ke 19 kembali ke syariat Islam menjadi slogan yang amat populer di Minangkabau, bahkan slogan-slogan itu langsung datang dari surau (masjid). Bahkan sutradara film semustinya memahami bahwa pada masa-masa terjadinya peristiwa film itu adalah masa di mana masyarakat Minangkabau sangat kental dengan agamisnya setelah berhasil diperbaharui oleh Paderi.
"Saya fikir sutradara harus baca kisah Minangkabau dari zaman Iskandar Zulkarnaen hingga Tuanku Imam Bonjol, agar tidak keliru. Karena secara realistis jika gambaran seorang gadih Minang dibuat dengan peran seperti yang di film itu oleh sutradara maka anak-anak gadih Minang nanti akan mudahnya melepas kerudung hanya karena alasan percintaan. Bahkan dapat memberikan pendidikan yang salah dan berbeda dengan fakta kehidupan di Minangkabau dari masa dulunya," terangnya.
Haryadi juga tidak menampik jika kemudian pada hari ini kondisinya demikian, artinya banyak gadis Minang yang telah terpengaruh budaya luar bahkan tidak lagi berkerudung. Namun ia miris jika film tersebut adalah pada tahun 1930-an.
"Jangan sampai kisah yang baik di masa lalu dikaburkan dengan kondisi-kondisi kekinian, ini akan dapat mengarahkan generasi muda tidak bisa memaknai sejarah. Sedangkan gambaran kegigihan tokoh anak muda Minang yang digambarkan gigih belajar dan menuntut ilmu untuk bisa sukses dan berhasil seperti yang digambarkan Zainuddin itu sangat bagus, namun gambaran sosok Aziz yang berkolaborasi dengan Belanda dengan gambaran suka mabuk-mabukan dan main judi itu perlu dikoreksi. Lagi-lagi itu tidak relevan dengan kondisi pada masa itu yang lagi kental-kentalnya ABS-SBK di Minangkabau," demikian Haryadi.
[rus]
BERITA TERKAIT: