Jalan yang ditempuhnya untuk meraih kekayaan adalah jalan kesederhanaan. Kepiawaian Buffet dalam berinvestasi, justru terletak pada kesederhanaan. Ia hanya berinvestasi di bidang usaha yang dimengerti.
Kini kita hidup dalam dunia di mana mayoritas konglomerat dunia adalah produk American Dream, kaya mendadak. Memulai debut bisnis (mendirikan perusahaan), menjual saham di bursa, kemudian menjadi konglomerat. Sedangkan Buffett, secara konservatif membeli saham perusahaan yang sudah berjaya atau mempunyai prospek/tradisi bagus, dengan keyakinannya menjauhi spekulasi dan saham- saham teknologi.
Apakah ini pertarungan dua "ideologi" dalam bentuk lain? Pertanyaan ini layak dilontarkan. Sebab, pada saat yang sama, kita sedang menyaksikan "siaran langsung" di mana Tiongkok akhirnya melepas mata uangnya ke pasar. Tidak lagi dipatok terhadap dolar AS. Tiongkok tidak lagi menentang ekonomi pasar meski masih tetap menonjolkan aspek pengelolaan oleh negara.
Dunia sedang "demam konservatif" ala Buffett. Tak terhitung lembaga pendidikan yang menawarkan kursus investasi ala Buffett. Tak terhitung keuntungan orang dengan menjual nama Buffett. Untuk makan siang bersama Buffett, tiket tak kurang dari 500 ribu dolar AS atau setara Rp 4,69 miliar per orang, terjual habis. Semua ini, seakan menjadi kebangkitan kembali (revival) konservatisme dalam bursa saham.
Inverstor NilaiWarren Buffett adalah investor nilai. Investor yang berani membeli saham suatu perusahaan jauh di atas harga pasar, jika nilai intrinsik perusahaan itu memang jempolan.
Akhir tahun 2000, Berskhire Hathaway, perusahaan investasi Buffett, mengakuisisi 87 persen saham Shaw Industries di harga 19 dolar AS per saham, padahal harga pasar hanya 12,19 dolar AS per saham. Buffett membeli dengan harga 56 persen lebih tinggi dari harga pasar.
Dengan membayar nilai seperti ini Buffett justru menuai untung besar. Tahun 1994, ia membeli 32 persen saham Coca Cola senilai 12,4 miliar dolar AS, tahun 2004 nilainya sudah menjadi 60 miliar dolar AS.
Intisari penilaian Buffett terhadap suatu perusahaan adalah nilai. Maka, strategi Buffett adalah membeli dan bertahan. Dia bukan seperti George Soros yang murni spekulan, yang setiap saat bisa pergi kalau sudah memperoleh capital gain.
Spekulasi besar-besaran gaya Soros seperti pada 15 September 1992 (yang dikenal sebagai "Rabu Hitam"), tatkala Soros meraup keuntungan hampir 2 miliar dolar AS dalam sehari, sungguh jauh dari wilayah pemikiran Buffett.
Setelah Bill Gates 13 tahun bertengger sebagai orang terkaya di dunia, pada tahun 2008 posisinya digeser Buffett. Kekayaan Gates tahun 2007, menurut Forbes, hanya naik 2 miliar dolar AS menjadi 58 miliar dolar AS. Sedangkan kekayaan Buffett naik 10 miliar dolar AS menjadi 62 miliar dolar AS.
Berbeda dengan konglomerat dunia lainnya, Buffett tidak mendirikan perusahaan sejak awal hingga besar macam William Gates III (Bill Gates), tetapi membeli saham perusahaan-perusahaan yang sudah mempunyai tradisi manajemen yang baik. Orang lain mendirikan dan mengembangkan, Buffett membeli sahamnya dan memolesnya sehingga lebih cemerlang.
Membeli SahamMembeli saham memang sudah dunia Buffett sejak kecil. Ayahnya mempunyai perusahaan broker. Sejak usia 11 tahun, dia sudah dimintai tolong ayahnya untuk membantu menulis harga-harga saham. Di usia 11 pula, ia membeli Cities Services seharga 38,25 dolar AS per lembar, kemudian menjualnya di 40 dolar AS per lembar.
Ketika berusia 14 tahun, dengan modal 1.200 dolar AS, ia sudah mampu membeli tanah seluas 40 hektare. Tanah ini disewakan Buffett ke petani lokal. Inilah passive income Buffett yang pertama.
Meski menjadi orang terkaya di dunia, Buffett bukanlah tipe yang suka bermewah-mewah. Rumah yang ditempatinya di Omaha, masih rumah yang tahun 1958 dibelinya seharga 315 roni dolar AS dua tahun setelah Buffett mengawali kemitraan investasinya tahun 1956. Tinggal di rumah tua, tetapi bisa memberi sumbangan 30 miliar dolar AS kepada Yayasan Bill & Melinda Gates.
Ketika George Soros mendonasikan 300 juta dolar AS untuk "menggembosi" komunisme di Eropa Timur, dunia berdecak kagum, dan Soros menjadi filantropis kelas wahid. Ternyata tak sampai 10 tahun, Buffett mendonasikan 100 kali lipat dibanding Soros.
Buffett masih tetap sederhana, laporan tahunan kepada para pemegang saham, masih tetap hanya berisi kata-kata, tanpa grafik, tanpa tabel. Buffett tetap hanya mendayagunakan kata-kata, milik semua manusia secara gratis, sejak bayi.
Gabungan Tiga OrangHampir semua penulis tentang Buffet menilai, Warren Edward Buffett (lahir di Omaha, Nebraska, Amerika Serikat, 30 Agustus 1930), adalah gabungan dari sedikitnya tiga pemikir/pebisnis.
Pertama, Benjamin Graham, analis saham pertama di dunia. Dia menulis buku Security Analysis yang terbit tahun 1930-an diinspirasi krisis bursa 1929, dan The Intelligent Investor (1949). Graham adalah ilmuwan yang juga praktisi bisnis saham.
Benjamin Graham bukan konsultan, tetapi guru. Graham bukan hanya mampu berteori bahkan menulis buku dan menjadi analis pertama, tetapi juga mampu melakukan yang dikatakannya.
Kedua, adalah John Burr Williams, penulis buku The Theory of Investment Value (1938). Selama enam dekade, buku ini bertahan sebagai panduan utama para analis dan investor.
Buffett meringkas teori ini: nilai suatu bisnis ditentukan arus kas sepanjang hidup bisnis itu (dipotong diskon bunga). Nilai seekor ayam, diukur dari telur-telurnya, saham diukur dari dividen-dividen. Itu sebabnya Buffett berani membeli saham di atas harga pasar.
Ketiga, adalah Charles Munger, yang awalnya adalah investor mandiri, di mana Munger juga bisa mengungguli indeks Dow Jones Industrial Average. Sering sekali, keduanya justru membeli saham yang sama. Tahun 1978, mereka bergabung.
Beli dan bertahan, mengambil manfaat dari fluktuasi pasar, itulah yang dilakukan Buffett. Maka ia tetap mengoleksi 200 juta lembar saham Coca Cola, 151,61 juta lembar saham Amex, serta 1,73 miliar lembar saham koran legendaris The Washington Post (termasuk majalah Newsweek).
Biaya pembelian Washington Post adalah 11 juta dolar AS, harga pasar tahun 2003 sudah 1,367 miliar dolar AS, lebih dari 100 kali lipat.
Tetap 10 dan 90Masalah kita sekarang, dalam kancah pertarungan konglomerat modern macam Bill Gates yang mengandalkan teknologi, dengan Buffett yang menganut kesederhanaan berpikir dan bertindak, dunia tetap dengan realita di mana 10 persen populasi menguasai 90 persen aset dunia. Ada keterlepasan (uncoupling) perkembangan kalangan atas dengan kalangan bawah.
Nyatanya, jumlah orang miskin di Indonesia malah bertambah. Atau lagi-lagi seperti kata Pramudya Ananta Toer, kaum lemah akan menjadi energi atau korban kaum kuat untuk berkembang tanpa batas.
[***]
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Baranews.co