Menjelaskan awal pembuatan film berdurasi dua jam itu, Hanung mencontohkan produksi film
Sang Pencerah tentang KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah pada 2011 lalu.
Bila diasumsikan pengikut Muhammadiyah sebanyak 30 juta orang, maka sekitar 10 persen dari angka itu diperkirakan akan menonton film S
ang Pencerah. Film yang ditayangkan di musim liburan 2011 lalu ditonton 1,2 juta penonton. Jumlah penonton lebih kecil dari yang ditargetkan karena ternyata tidak semua orang Muhammadiyah tinggal di kota besar yang punya gedung bioskop.
"Dengan Pak Ram (Ram Punjabi) kita tidak bisa datang hanya dengan konten. Maka saya datang dengan angka," katanya bersemangat.
Hal lain yang masuk dalam pertimbangan ekonomi pembuatan film di balik
Soekarno berkaitan dengan durasi. Idealnya durasi film maksimal dua jam. Dengan durasi sepanjang itu, sebuah film dapat diputar 4 sampai 5 kali dalam satu layar per hari. Semakin tinggi frekuensi pemutaran film, semakin banyak jumlah penonton yang didapat.
"Kita di Indonesia hanya punya sekitar 600 layar. Dapat 120 layar saja sudah bagus," kata dia.
Untuk hal ini dia membandingkan dengan film
Tjut Nyak Dhien yang disutradarai Ero Djarot dan dibintangi Christine Hakim. Film yang dirilis tahun 1998 itu bagus, tetapi durasinya yang sekitar 3 jam terlalu panjang sehingga tidak ekonomis.
Selain itu film yang terlalu panjang juga bisa mermbuat penonton bosan. Dia mencontohkan film
Pengkhianatan G30S/PKI yang diproduseri G Dwipayana dan disutradarai Arifin C Noer tahun 1984.
Karena film
Soekarno harus memiliki durasi tidak lebih dari 2 jam, kata Hanung lagi, maka banyak hal antara periode Bung Karno ditangkap di Jogjakarta pada 1929 hingga Proklamasi Kemerdekaan 1945 tidak bisa dimasukkan, dan wajar kalau banyak penonton yang tidak puas.
[dem]
BERITA TERKAIT: