Dalam buku itu misalnya, kata Sekretaris PGRI Sukakarya Garut, Ma'mun Gunawan, ada kata-kata yang tidak patut dan tidak pantas untuk dibaca oleh siswa. Seperti
"Bangsat! Kurang ajar! Bajingan! Sambar gledek lu!". Tentu saja, selain karena bahasa tersebut kasar, akan terbangun persepsi pada siswa bahwa kata-kata tersebut merupakan bahasa Indonesia yang santun karena termuat dalam buku pelajaran bahasa Indonesia dan diucapkan oleh seorang polisi desa.
Selain kata-kata kasar, lanjutnya, terdapat kalimat ancaman yang diucapkan oleh seorang polisi desa. Seolah-olah mencerminkan bawa aparatur pemerintah dan polisi yang seharusnya mengayomi masyarakat, dalam buku tersebut dipersonifikasi sebagai tokoh yang memiliki karakter mudah marah, mengabaikan persoalan warga, gampang mengancam, suka menghardik dan tidak mau menerima pengaduan warga.
"Juga terdapat kata "lubang pantat" dan "pantat", seolah-olah tidak ada lagi kata yang lebih sopan untuk menggambarkan suatu ekspresi atau kejadian," kata Ma'mun kepada
Rakyat Merdeka Online beberapa saat lalu (Senin, 2/9).
Ma'mun menilai isi cerita dalam cerpen dapat membentuk sikap antipati dan kebencian siswa kepada aparatur pemerintah. Pemerintah yang dalam cerpen tersebut dipersonifikasi sebagai lurah, camat dan polisi yang tidak mau melayani warga yang sedang dilanda kegalauan. Bahkan aparat pemerintah cenderung mengabaikan, mengolok-olok, membentak, menghardik dan mengancam warga hanya karena masalah yang dilaporkan warga dianggap sepele.
"Cerita dalam cerpen juga tidak menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, melainkan menggunakan bahasa melayu yang tidak sesuai dengan ejaan yang disempurnakan. Bahasa adalah harga diri bangsa, tidak digunakannya bahasa Indonesia yang baku dalam materi pembelajaran tersebut sama halnya dengan merendahkan harga diri bangsa," tegas Ma'mun, sambil menegaskan bahwa kesimpulan dari temuannya jelas materi cerpen di halaman 220-225 itu sangat bertentangan sekali dengan nilai-nilai budaya dan moralitas bangsa maupun agama.
[ysa]
BERITA TERKAIT: