Ketupat (52 Tahun Kemudian)

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
OLEH:
  • Rabu, 07 Agustus 2013, 07:52 WIB
Ketupat (52 Tahun Kemudian)
ilustrasi/net
SAKING enaknya menikmati ketupat (sayur) bikinan mertua, saya sampai lupa "ada apa di balik ketupat" lebaran tersebut. Saya kemudian coba mencari-cari, siapa tahu ketupat yang enak ini bertambah nikmat.

Ketupat konon diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga, salah satu dari sembilan wali penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450. Saat itu, sudah ada semacam perayaan di masyarakat untuk memuja Dewi Sri atau dewi padi, pemberi kesuburan. Dalam perayaan itu, ketupat menjadi salah satu santapan utama.

Di situlah Sunan Kalijaga masuk. Ketupat atau kupat, lalu diartikan atau dipanjangkan menjadi "laku papat" atau empat perbuatan yang dilakukan selama bulan ramadhan sampai 1 Syawal (lebaran). Empat laku tersebut adalah puasa, tarawih, zakat, dan shalat ied.

Dengan menerjemahkan kupat sebagai "laku papat" itulah Sunan Kalijaga menyuntikkan ajaran dan falsafah puasa, tarawih, zakat dan salat Ied kepada penduduk setempat. Ada juga yang mengartikan tupat sebagai ku (ngaku) pat (lepat = kesalahan). Mengakui kesalahan dalam diri kita. Ketupat yang biasa disantap saat idul fitri bermakna kita mengakui segala kesalahan untuk kemudian kembali fitri.

Walaupun sekarang ada yang dibungkus plastik atau bahan lain, ketupat yang natural selalu dibungkus janur. Nah, janur ini juga punya makna. Janur konon berasal dari bahasa Arab, "jaa a al-nur" atau telah datang cahaya.

Pada saat penyebaran agama Islam di Jawa, janur diartikan sebagai "sejatine nur" (cahaya) yang bermakna cahaya murni yang datang mencerahkan setelah puasa ramadhan dijalani.

Apa pun maknanya, ketupat yang gurih itu ternyata bukan hanya ada di Indonesia. Di Malaysia, Singapura, Filipina bahkan di kepulauan Cocos (Australia) juga ditemui makanan sejenis ketupat.

Bagi Malaysia, makanan ini diakui sebagai khas negara tersebut. Sama seperti ketika mereka mengklaim tempe atau beberapa kebudayaan yang juga banyak ditemui di Indonesia.

Ketika kita menikmati ketupat, saya jadi teringat tulisan Rosihan Anwar dalam salah satu bukunya. Rosihan menulis: pada 18 Maret 1961 dia berangkat melaksanakan shalat ied di Kebayoran Baru. Di jalanan dia melihat banyak becak yang didandani bungkus ketupat. Becak-becak yang berkonvoi keliling kota itu terlihat indah.

Untuk mencari tahu, Rosihan lalu bertanya, kenapa hanya bungkus atau sarung ketupat yang dipajang di becak. Rupanya bungkus ketupat tersebut dibuang para pedagang di pasar dan diambil para tukang becak. Kenapa dibuang? Karena tidak ada isinya!
Kenapa tidak diisi beras? Karena beras mahal! Saat itu, tulis Rosihan, beras sudah tidak terbeli oleh rakyat. Harganya sudah mencapai Rp 14 rupiah per liter!

Mengingat kisah Rosihan, saya jadi bertanya: sekarang, 52 tahun setelah kisah itu, masih adakah diantara kita yang hanya bisa mengumpulkan sarung ketupat sambil menunggu datangnya beras, beras yang entah datang dari mana...[***]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA