Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity, Endang Tirtana, mengakui, konvensi partai ini terbukti mengundang gairah politik di masyarakat. Pasalnya, media yang senantiasa memberitakan dari hari ke hari mengenai calon presiden yang diusung bisa menjadi wadah untuk mengisi gap keterjarakan informasi antara kandidat presiden dengan pemilih. Sehingga pemilih tidak terkesan "membeli kucing dalam karung".
"Meskipun tidak bisa ditampik juga, bahwa 'bisnis konvensi' bisa menjadi hal negatif juga dalam partai ketika 'sawer uang' dijadikan strategi untuk memenangkan konvensi," ungkapnya (Sabtu, 6/4).
Selain itu juga, banyak pandangan yang menilai bahwa konvensi bisa menimbulkan perpecahan partai karena calon-calon yang kalah akhirnya membuat manuver-manuver politik. Di atas semua itu, dikatakannya, konvensi belum menjadi budaya partai politik di Indonesia.
"Butuh keikhlasan dari para petinggi partai. Karena mayoritas parpol di Indonesia masih dikendalikan kelompok-kelompok tua yang tidak ingin lepas dari kekuasaan," jelasnya.
Padahal, penting juga untuk mengakomodir calon yang high profile yang elektabilitasnya tinggi namun yang bersangkutan bukan kader atau pengurus partai, seperti Chairul Tanjung, Dahlan Iskan, Gita Wirdjawan, Mahfud MD dan Din Syamsuddin.
"Terlepas dari 'dua sisi koin' positif dan negatifnya, konvensi dalam penentuan calon presiden dalam sebuah partai sangatlah penting untuk dilakukan di Indonesia guna mendekatkan figur terhadap masyarakat yang selanjutnya membuka ruang dialog," tandasnya.
[zul]
BERITA TERKAIT: