"Pertama, untuk kasus DKI, saya pikir UMP Rp 2,2 juta sudah cukup rasional pararel dengan biaya hidup yang juga tinggi. Dibandingkan dengan daerah-daerah lain di seluruh Indonesia, dengan standar upah seperti itu maka perusahaan-perusahaan yang tidak efisien, dan tidak kompetitif akan memilih hengkang," ujar ekonom Dahnil Anzar Simanjuntak (Kamis, 21/3).
Tetapi dalam jangka panjang, pasti akan ada perusahaan lain yang lebih efisien masuk ke Jakarta dengan standar UMP yang tinggi itu tentunya. Sehingga perbaikan kualitas kinerja ekonomi di DKI justru semakin positif.
"Kedua, justru dengan UMP tinggi dan banyak perusahaan yang tidak mampu memilih hengkang dari DKI, itu positif dan baik bagi ekonomi Indonesia," imbuhnya.
Karena perusahaan-perusahaan yang hengkang itu akan mencari daerah yang UMP-nya tidak setinggi DKI Jakarta atau investor-investor baru justru tidak akan selalu melirik DKI Jakarta tetapi daerah-daerah lain yang lebih ekonomis dalam hal biaya buruh.
Sehingga bisa membantu kesenjangan
direct investment di Indonesia karena investor akan mempertimbangkan melakukan investasi di luar Jakarta.
"Apalagi akan lebih baik, apabila pilihan-pilihan investor baru, tertuju kepada daerah-daerah yang UMP-nya relatif lebih murah diluar Jawa, seperti Kalimantan dan Sulawesi, maupun Sumatera," ungkapnya.
"Jadi, jangan sekedar tengok efek jangka pendeknya tapi tengok efek jangka panjangnya yang justru positif," demikian pengajar Fakultas EKonomi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang, Banten yang juga Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Bidang Buruh, Tani dan Nelayan ini.
[zul]
BERITA TERKAIT: