Jangan Tertipu dengan Klaim Pemerintah yang Sesat!

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ade-mulyana-1'>ADE MULYANA</a>
LAPORAN: ADE MULYANA
  • Sabtu, 05 Januari 2013, 13:49 WIB
Jangan Tertipu dengan Klaim Pemerintah yang Sesat<i>!</i>
rizal ramli/rmol
rmol news logo Pertumbuhan ekonomi di Indonesia dibanggakan mengalami peningkatan. Pemerintah dan kalangan ekonom yang berkiblat pada ekonomi neokapitalisme mengklaim, dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan jumlah kelas menengah (middle class) di Tanah Air.

"Sebaiknya jangan senang dulu dengan klaim itu, karena standar yang digunakan tidak pas," kata mantan Menko Perekonomian, Dr. Rizal Ramli, dalam seminar ekonomi bertajuk "Mencetak Ekonom Indonesia yang Bermoral, Nasionalis dan Berbudaya sebagai Ciri Ekonomi Indonesia", di kampus STIE Bank BPD Jateng, Semarang, Sabtu (5/1).

Definisi kelompok middle class yang dipakai ternyata yang berpenghasilan 2-4 dolar AS per hari. Menurutnya, uang senilai itu hanya cukup untuk beli nasi plus gudeg tiga  kali dalam sehari, dan tidak bisa membiayai kebutuhan lainnya.

"Definisi middle class yang benar adalah yang berpenghasilan 50 dolar per hari," ucapnya.

Masyarakat, kata Rizal Ramli, jangan tertipu dengan klaim yang disampaikan pemerintah terkait pengangguran. Pemerintah mengumumkan pengangguran di Indonesia sebesar 6 persen. Tapi, definisi pemerintah adalah seseorang sudah disebut pekerja bila dalam satu pekan sudah bekerja selama satu jam.

Itu bukan definisi pengangguran yang diakui dunia internasional, di mana dipahami, seseorang sudah dapat disebut pekerja bila bekerja selama 35 jam dalam sepekan.

"Jadi, jangan mudah tertipu dengan angka-angka yang nampaknya menggiurkan. Padahal, definisi-definisi yang dipakai sebagai patokannya tidak jelas," jelas Ketua Aliansi Rakyat untuk Perubahan (Arup) itu di hadapan ratusan mahasiswa.

Dia menambahkan, di lain sisi memang benar terjadi peningkatan dalam penjualan kendaraan bermotor. Tapi daya beli masyarakat yang tinggi itu dipicu oleh rayuan manis pasar.

Dulu masyarakat tidak tertarik dan mampu membeli motor karena ada down payment (uang muka)-nya. Tapi begitu down payment ditiadakan, minat beli masyarakat terhadap motor jadi gila-gilaan. Masalahnya, masyarakat membeli motor tersebut dengan cara mencicil, bukan cash.

Timbul masalah lain. Begitu menghadapi beban hidup yang lain, masyarakat pun tidak mampu membayar cicilannya, yang ujung-ujungnya motor pun disita oleh pihak bank.

"Memang ada 20 persen masyarakat di Indonesia yang punya daya beli. Tapi, mayoritas daya beli masyarakat merosot," ungkap mantan aktivis ITB itu. [ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA