Harapan tersebut tentu menjadi mimpi semua pihak. Namun pada kenyatannya konflik dan kekerasan dimana-mana, mulai kekerasan langsung, seperti perang di Suriah dan di Palestina sampai kekerasan tak langsung seperti intoleransi dan kebijakan yang diskriminatif.
Di saat pemimpin dunia bicara perdamaian, sekelompok orang melakukan demontrasi yang menuntut kebebasan dan demokrasi. Ada sekelompok orang yang menyebut dirinya penganut Falun Gong, menuntut pemerintah China terbuka dan demokratis. Ada yang menuntut pemerintah Iran bertanggung jawab atas hilangnya beberapa aktivis muslim yang menuntut kebebasan, ada sekelompok yang menuntut pemerintahan Mesir tidak diskriminatif. Masing-masing berdiri di seberang gedung PBB yang sedang melaksanakan hajatannya.
"Inilah paradoks wacana. Di dalam gedung berbicara kebebasan dan perdamaian, sementara di luar diskriminasi dan otoritarianisme masih terjadi" ujar A. Bakir Ihsan, dosen ilmu politik FISIP UIN Jakarta yang ikut hadir dalam sidang ke-67 Majelis Umum PBB kepada
Rakyat Merdeka Online, Rabu malam (26/9).
Menurut Bakir, masalah kekerasan jangan hanya dilihat secara verbal, tapi juga kekerasan tidak langsung yang dirasakan oleh masyarakat karena adanya kebijakan yang diskriminatif atau menguntungkan sebagian orang atau kelompok.
"Ini tidak kalah berbahayanya karena masyarakat kehilangan haknya sebagai warga negara," imbuh dia.
Karenanya, menurut Bakir, langkah awal untuk menciptakan perdamaian adalah sejauhmana kebijakan negara betul-betul membuat masyarakat merasa aman dan nyaman.
[dem]
BERITA TERKAIT: