Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pernyataan Jokowi tentang Penembakan Solo Bisa Menimbulkan Prasangka

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/teguh-santosa-5'>TEGUH SANTOSA</a>
OLEH: TEGUH SANTOSA
  • Sabtu, 01 September 2012, 23:22 WIB
Pernyataan Jokowi tentang Penembakan Solo Bisa Menimbulkan Prasangka
joko widodo
rmol news logo Walikota Solo Joko Widodo tidak mau mengaitkan pembunuhan anggota Polsek Serengan, Solo, Bripka Dwi Data, Kamis malam lalu (30/8) dengan proses pemilihan gubernur DKI Jakarta. Dalam kejadian itu, Bripka Dwi Data ditembak orang tidak dikenal yang mengendarai sepeda motor sekitar pukul 21.00 WIB.

Saat kejadian, Bripka Dwi Data yang akan pensiun tahun depan baru bertugas sekitar 30 menit. Polisi sedang berusaha menemukan motif dan pelaku pembunuhan itu.

Penembakan ini adalah kejadian yang melibatkan senjata dan alat ledak ketiga di Solo dalam sebulan terakhir. Sebelumnya, terjadi penembakan di Pospam Gemblegan, Jumat dinihari (17/8) dan pelemparan granat di Gladag, Sabtu malam (18/8). Tidak ada korban dalam dua kejadian tersebut.

Walau tak ingin mengaitkan kejadian yang menimpa Bripka Dwi Data dengan pemilihan gubernur DKI Jakarta, namun rangkaian kata-kata Jokowi seperti yang ditayangkan MetroTV sehari setelah kejadian dikhawatirkan dapat mendorong masyarakat untuk mengaitkan keduanya. Tentu saja, ini dapat menimbulkan prasangka-prasangka yang tidak perlu di tengah masyarakat, dan selanjutnya bisa berbahaya.

Dengan kata lain, pernyataan Jokowi tersebut bersayap dan berpotensi menciptakan efek reverse psychology atau psikologi terbalik. Dalam dunia psikologi, istilah psikologi terbalik ditujukan kepada teknik mempengaruhi pihak lain dengan mengatakan hal-hal yang berlawanan dengan yang diinginkan.

Teknik ini biasanya digunakan kepada anak-anak. Namun catatan lain juga menyebutkan tak jarang teknik ini digunakan untuk mempersuasi orang dewasa yang memiliki keterbatasan kecerdasan.

Permainan kata-kata Jokowi dalam tayangan berita sepanjang 1 menit 5 detik itu juga disertai dengan tekanan pada beberapa kata, seperti kata "tetapi" (detik ke-25) dan kata "kalau" (detik ke-27). Jokowi juga beberapa kali mengulangi kata atau frase dalam kalimatnya. Kedua hal ini, tekanan pada kata-kata tertentu dan pengulangan kata atau frase membuat pernyataan Jokowi terkesan tidak natural.

"Saya tidak mau berprasangka. Saya nggak mau menduga-duga. Tetapi, ini tetapi, kalau betul-betul ada kaitannya, ini sebuah, menurut saya, sebuah, ya sebuah tindakan yang di luar perikemanusiaan. Tapi mudah-mudahan tidak ada. Saya mengimbau agar warga ini juga ikut membantu aparat. Memberi informasi, memberikan, apa itu, e, kalau ada selentingan kecil, sekecil apa pun, informasi itu segera diberikan ke aparat biar segera bisa di, apa, proses," begitu ujar Jokowi dalam tayangan itu.

Jokowi selama ini, khususnya sepanjang pertarungan memperebutkan kursi DKI-1, dikesankan sebagai seorang tokoh yang lugu dan apa adanya. Tentu, bangunan citra seperti itu di tengah proses kompetisi politik seperti pemilihan gubernur ibukota sebuah negara adalah hal yang biasa.

Namun demikian, Jokowi dan tim sukses yang mendampingi dirinya, harus memperhatikan hal-hal seperti ini agar tidak memunculkan dampak yang berbeda yang tidak hanya merugikan mereka, tetapi juga merugikan semua pihak.

Sebagai pimpinan pemerintahan di Kota Solo, alangkah baiknya jika Jokowi hanya membicarakan peristiwa kelam itu dari sudut pandang tugasnya sebagai penanggung jawab keamanan di Solo. Banyak hal yang bisa ia elaborasi dan jelaskan. Di sisi lain, pernyataan dari angle itu akan jauh lebih bermanfaat dan positif bagi pencitraan dirinya di arena pemilihan gubernur DKI Jakarta. [***]

Penulis adalah praktisi media, juga dosen ilmu politik, studi konflik dan komunikasi massa.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA