Koruptor Boleh Taubat, Tapi Harta Hasil Korupsi Balikin Dulu Ke Negara

Minggu, 19 Agustus 2012, 11:39 WIB
Koruptor Boleh Taubat, Tapi Harta Hasil Korupsi Balikin Dulu Ke Negara
KH Amidhan

RMOL. Perang melawan korupsi terus dikumandangkan. Tak hanya aparat penegak hukum yang menyatakan perang terhadap tindak lancung ter­sebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun turut mendukung perang me­lawan korupsi. MUI telah menge­luarkan fatwa yang menghalalkan ne­gara merampas harta hasil korupsi.

 Fatwa MUI terkait Perampasan Aset Koruptor dikeluarkan lewat Ijti­ma Ulama Komisi Fatwa se-Indo­ne­sia ke-IV yang berlangsung pada 29 Juni-2 Juli 2012 di Pondok Pesantren Ci­pasung Tasikmalaya, Jawa Barat.

Menurut Asrorun Ni’am Sholeh, Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat, ada tiga poin utama dalam fatwa ter­sebut. Pertama, aset pelaku tindak pi­dana korupsi yang terbukti berasal dari korupsi adalah bukan milik pe­laku. Karenanya, aset tersebut harus dirampas dan diambil oleh negara, sedangkan pelakunya dihukum

Kedua, aset pelaku tindak korupsi yang terbukti bukan berasal dari tin­dak pidana korupsi tetap menjadi milik pelaku dan tidak boleh dirampas negara.

Ketiga, aset pelaku tindak pidana korupsi yang tidak terbukti berasal dari korupsi, tetapi tidak bisa dibuk­ti­kan bahwa aset tersebut adalah milik­nya (pelaku korupsi), maka diam­bil oleh negara. “Pada poin tiga ini dilakukan pembuktian terbalik,” jelas Ni’am.

Untuk itu, Ketua MUI, KH Ami­dhan, me­minta aparat penegak hukum lebih bersemangat dalam mem­be­rantas korupsi setelah mendapat dukungan dari institusinya.

Kiai Amidhan menjelaskan, meski harta koruptor sudah dirampas untuk negara, hukuman penjara dan hu­kuman akhirat tetap harus diterima oleh koruptor.

“Meskipun (koruptor) sudah bertaubat, harta yang bukan hak mereka harus dikembalikan. Ko­rupsi kan menyangkut hubungan de­ngan manusia, bukan sekadar dosa ke­pada Tuhan. Karenanya, selain memohon ampun kepada Allah, para koruptor harus mengembalikan harta yang ia peroleh secara haram,” ujar Amidhan saat dihubungi, kemarin.

Dijelaskannya, salah satu faktor yang menjadi pertimbangan MUI dalam mengeluarkan fatwa tersebut adalah mewujudkan Indonesia men­jadi negara yang berkeadilan dan sejahtera. Landasan argumentasi fatwa MUI tersebut, dikatakan Kiai Amidhan,  sangat kuat, sehingga pe­negak hukum tidak perlu ragu lagi untuk melaksanakannya.

Kendati diperbolehkan menyita, Amidhan berhadap ada aturan main yang jelas dalam proses penyita­an­nya. Kata dia, harta yang boleh disita negara adalah yang terbukti secara hukum berasal dari hasil korupsi. Har­ta yang tidak dapat dibuktikan secara hu­kum berasal dari hasil korupsi, tidak boleh disita. “Misalnya, harta wa­ris atau pendapatan lain yang bukan dari hasil korupsi, tidak boleh dirampas,” tegasnya.

Namun, tambah Amidhan, harta seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan tidak dapat dijelaskan perolehannya dari pen­dapatan yang halal, dapat dirampas oleh negara. “Kalau masih ada seba­gian harta yang tidak jelas, ya harus di­rampas juga. Kecuali ia bisa mem­buktikan kepemilikannya secara sah,” tegasnya.

Kiai Amidhan menilai, maraknya tindak pidana korupsi saat ini dise­babkan lemahnya institusi penegak hu­kum dan vonis yang terlalu ringan terhadap mereka sehingga para pelakunya tidak pernah jera.

Sementara itu, pakar hukum pida­na, Margarito Kamis, sependapat dengan fatwa MUI tersebut. Hal tersebut, kata dia, tidak bertentangan dengan hukum positif di Indonesia, karena perampasan dilakukan setelah adanya pembuktian hukum.

“Perampasan itu tidak bertentangan dengan hukum, karena dilakukan setelah adanya proeses peradilan. Per­tanyaannya, apakah kejaksaan atau aparat penegak hukum di republik ini mampu membuktikan kalau sebagian besar kekayaan yang dimiliki korup­tor adalah hasil korupsi,” ujar Mar­garito saat dihubungi, kemarin. [HARIAN RAKYAT MERDEKA]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA