"Musuh Hatta adalah partainya sendiri (PAN). Kalau PAN bisa memperoleh suara dua digit, atau sekitar 15 hingga 20 persen suara, maka Hatta ada di atas angin. Ini PR bagi PAN," ujar pengamat politik dari Masyarakat Pemantau Kebijakan Eksekutif dan Legislatif (Majelis), Sugiyanto, saat berbincang dengan
Rakyat Merdeka Online (Minggu, 10/6).
Ditegaskan dia, pangkal kemenangan Hatta adalah PAN itu sendiri. Kalau perolehan PAN tidak bisa mencapai dua digit, maka akan berat bagi Hatta dan PAN memenangi Pilpres meng-KO Ical yang diusung Golkar, Prabowo dari Gerindra atau capres lainnya.
"Logika politik sederhana: tidak mungkin ada partai yang mengusung capres di luar partainya sendiri. PAN harus bisa mencalonkan dulu Hatta," imbuhnya.
Untuk bisa meraih suara dua digit, kata dia, PAN harus
all out membangun konsolidasi, mengembangkan infrastruktur, melakukan komunikasi politik dengan masyarakat dan melakukan kerja-kerja politik lainnya. Tanpa itu, PAN tidak akan mencapai target sehingga akhirnya tidak bisa mencapreskan Hatta Rajasa.
Ada cara lain, tambah Sugiyanto, yang bisa dilakukan PAN selain itu. Yakni memassifkan kampanye politik yang sejuk, simpatik dan menarik seperti yang dulu dilakukan PKS. Dengan cara tersebut, PKS telah membuktikan diri bisa menaikkan perolehan suaranya dari dua persen pada Pemilu 1999 menjadi tujuh persen pada pemilu 2004.
Atau bisa juga, lanjut dia, PAN bekerja secara besar-besaran mencitrakan figur Hatta Rajasa yang kini menjabat Menko Perekonomian seperti yang dilakukan Partai Demokrat kala mencitrakan figur SBY. Cara ini lumayan ampuh, terbukti pada Pemilu 2004 suara Partai Demokrat hanya meraih tujuh persen, kemudian melonjak jadi 20 persen lebih pada Pemilu 2009.
"PAN harus belajar dari PKS dan Demokrat. Kalau tidak bisa maka akan sulit dan mustahil bagi PAN bisa mendapat suara dua digit. Apalagi sampai sekarang belum ada lompatan-lompatan yang pesat yang dilakukan PAN, dan juga tidak ada upaya pencitraan besar-besaran dari Hatta," imbau Sugiyanto.
"Waktu sudah mepet. Hatta harus keluar dari rutinitas birokrasi. Kalau tetap berliku di birokrasi akan susah. Dulu, waktu zaman Mega, SBY bisa tampil membangun pencitraan diri tanpa keluar dari kabinet. Hatta harus seperti itu. Atau keputusan ekstremnya, kalau mau, Hatta sekalian keluar dari kabinet dan tampil
all out," tandasnya.
[dem]
BERITA TERKAIT: