Hal itu disampaikan ekonom yang juga Dosen Fakultas Ekonomi Sultan Ageng Tirtayasa, Banten, Dahnil Anzar Simanjutak kepada Rakyat Merdeka Online (Jumat, 25/5).
Pertama adalah terjadinya penurunan permintaan akan kredit/pembelian kendaraan bermotor. Karena kebijakan ini, pertumbuhan sektor otomotif terutama kendaraan dengan segmentasi pasar kelas menengah ke bawah pasti mengalami penurunan. Potensi penurunan pendapatan pasti dialami perusahaan-perusahaan pembiayaan.
"Bahkan sebelum diterapkan kebijakan ini, beberapa perusahaan pembiayaan sudah mengalami penurunan permintaan kredit sampai dengan 50 persen. Karena beberapa perusahaan pembiayaan sudah menerapkan kebijakan ini untuk menghindari penerapan yang tiba-tiba," ungkapnya.
Kedua, seiring dengan menurunnya permintaan akan pembelian/kredit kendaraan, secara otomatis akan berdampak langsung terhadap pembayaran pajak kendaraan baru. Maka ancaman fiskal stress, yakni ancaman penurunan pendapatan asli daerah bagi pemerintah provinsi besar kemungkinan akan terjadi mengingat pajak kendaraan adalah pajak provinsi dan hampir 80 persen pendapatan asli daerah beberapa provinsi di Indonesia berasal dari pajak kendaraan.
"Maka saran saya, pemerintah pusat harus memiliki skema untuk mengantisipasi trade off kebijakan pembatasan DP tersebut, terutama ancaman fiskal stress bagi pemerintah provinsi, yang kemungkinan juga secara otomatis akan berdampak terhadap skim dana perimbangan yang harus ditransfer oleh pemerintah pusat ke provinsi seiring menurunnya PAD beberapa provinsi yang menerima dampak penurunan PAD," demikian Dahnil. [zul]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: