Meski membuka peluang terjeratnya politisi lain dalam kasus korupsi wisma atlet SEA Games di Palembang, vonis 4 tahun 10 bulan terhadap eks Bendum DPP Demokrat, Muhammad Nazaruddin, membuat miris hati. Nazaruddin terbukti menerima empat lembar cek senilai Rp 4,6 miliar dalam kapasitasnya sebagai penyelenggara negara terkait proyek yang dimaksud. Dipastikan Nazaruddin tidak bakal sendirian, karena rekannya di Demokrat, Angelina Sondakh, kini sudah mendekam di Rutan KPK terjerat kasus yang sama.
Tapi apakah serta merta vonis bisa menentramkan hati publik? Belum tentu! Vonis pada Nazaruddin bahkan lebih rendah dari ancaman pidana yang dijatuhkan kepada seorang pelajar di Palu, AAL. Bocah ABG itu dituduh mencuri sendal jepit seharga Rp 30.000 milik seorang anggota Polri rendahan. Drama politik yang menguras energi mengiringi penanganan kasus Nazaruddin sungguh tak sebanding dengan apa yang dihasilkan proses peradilan di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Pakar pidana tindak pencucian uang, Yenti Garnasih, tegas menyatakan vonis hakim mengandung kekeliruan. Jaksa penuntut dianggap tidak berpedoman pada Pasal 12 huruf b UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dakwaan kesatu. Pasal ini menjerat pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah karena melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Ancaman hukuman maksimal yang termuat dalam pasal itu adalah 20 tahun penjara. Belum lagi, Nazaruddin mengerahkan kekuatan korporasi yang dimilikinya untuk memanipulasi uang negara.
Sikap pembaca Rakyat Merdeka Online tersaring dalam poling yang sudah dibuka selama sepekan terakhir. Hasil akhirnya sudah bisa ditebak, lebih dari separuh responden menjawab vonis itu kurang memenuhi rasa keadilan publik.
Sampai poling ditutup beberapa saat lalu, cuma 16,7 persen yang merasa cukup atas vonis itu, sementara responden yang menjawab "Kurang" mencapai 75,6 persen. Sisanya, 7,7 persen mengaku tidak tahu.
Rasa keadilan masyarakat memang tak punya takaran tetap, tapi dia sangat bisa dirasakan. Tak heran bila masyarakat masih menganggap politik menjadi panglima di negeri ini, bukan hukum. Sementara peradilan yang penuh transaksi kian menjadi kenyataan pahit. Inilah PR besar pemerintahan Presiden Yudhoyono. Slogan heroik pemberantasan korupsi jadi hambar kini. Bagaimana mungkin bisa menghapus korupsi kalau upaya menghadirkan efek jera bagi para koruptor dilakukan setengah hati.
[ald]
BERITA TERKAIT: