Awalnya jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta majelis menghukum Nazaruddin 7 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 6 bulan kurungan. Tapi hakim berpendapat lain, Nazaruddin diganjar pidana 4 tahun 10 bulan dan denda senilai Rp 200 juta dan apabila tidak bisa membayar denda maka digantikan dengan hukuman kurungan selama 4 bulan.
Pakar pidana tindak pencucian uang, Yenti Garnasih, tegas menyatakan vonis hakim mengandung kekeliruan. Jaksa penuntut dianggap tidak berpedoman pada Pasal 12 huruf b UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dakwaan kesatu.
Pasal ini menjerat pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah karena melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Ancaman hukuman maksimal yang termuat dalam pasal itu adalah 20 tahun penjara.
Yenti menjelaskan, antara pasal 12B dan 11 tidak jauh berbeda. Jika pasal 11 terbukti dan pidananya 4 tahun 10 bulan telah final, maka berarti mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu jelas menerima uang Rp 4,6 miliar.
"Uang 4,6 miliar ini kemana? Seharusnya negara melalui hakimnya bisa mengembalikan," jelas dia dalam diskusi di Rumah Perubahan 2.0, Jakarta, lusa lalu.
Tapi ada juga yang mengambil sisi positifnya. Vonis nyaris 5 tahun itu, meski disesalkan, tapi seharusnya dapat menjadi pintu masuk membuka gurita raksasa tindak kejahatan korupsi di dalam pemerintah dan para petinggi partai penguasa (Demokrat).
Namun, akivis ICW, Lucky Jani, menjelaskan, vonis ringan itu bisa memenuhi rasa keadilan jika proses penanganan korupsi terus dilanjutkan oleh KPK. Pasalnya, penanganan kasus tersebut belum menyentuh hingga ke akar-akarnya dan menjerat para penikmat hasil korupsi tersebut sehingga asas keadilan belum benar-benar ditegakkan.
Kita sepakat dengan pendapat bahwa berapapun vonis pidana dijatuhkan kepada eks anggota DPR itu bukan jadi alasan untuk menghentikan penyidikan sampai di bekas kolega Ketua Umum DPP Demokrat Anas Urbaningrum itu saja. Tapi rasanya sudah terlalu lama rasa keadilan publik dicobai dengan kasus-kasus penegakan hukum yang tidak pernah tuntas. Apalagi bila diduga menyeret nama-nama besar di lingkaran kekuasaan.
Besok, bekas Wakil Sekjen DPP Demokrat Angelina Sondakh akan dipanggil KPK sebagai tersangka kasus wisma atlet yang sudah menjebloskan Nazaruddin ke penjara. Dan hari ini, istri Anas Urabingrum, Athiyyah Laila, telah menjalani pemeriksaan perdananya sebagai saksi dalam dugaan korupsi pembangunan komplek olahraga Hambalang yang juga mengikutkan Muhammad Nazaruddin sebagai saksi.
Jelas sekali bau korupsi orang-orang di partai penguasa di banyak proyek besar yang menggunakan uang rakyat. Mudah-mudahan, lembaga anti korupsi yang selama ini menjadi tumpuan harapan rakyat bisa melunasi sumpahnya untuk bekerja profesional tidak tebang pilih.
Sementara itu, di tengah penantian panjang kita akan akhir perjalan kasus-kasus di atas, Rakyat Merdeka Online sejak awal pekan ini membuka poling terbuka untuk pembaca setia yang menyorot khusus pada vonis Nazaruddin.
Bagaimana pendapat pembaca akan vonis itu? Tentu saja, persepsi masyarakat adalah cermin penegakan hukum yang paling tegas dari pemberantasan korupsi di Indonesia yang diwacanakan sejak Presiden Yudhoyono menjabat di periode pertama.
Nyatanya, sampai laporan ini dibuat, cuma 21,8 persen pemilih yang menyatakan vonis itu sudah cukup adil. Sedangkan mayoritas pemilih sebesar 67,3 persen tidak puas atas kebijakan Pengadilan terhadap Nazaruddin. Sisanya, 10,9 persen mengaku tidak tahu.
Poling bertema vonis Nazaruddin masih dibuka untuk pembaca dengan metode 1 IP, 1 Vote. Terbuka bagi semua pembaca yang budiman menyalurkan pendapatnya. Selamat memilih!
[ald]
BERITA TERKAIT: