IRESS menyampaikan laporan dugaan tindak pidana korupsi Harunata
dan Syahrial Usman ke KPK sekitar pukul 14.00 tadi. Sejumlah perwakilan
dari Kahmi Pusat, Alumni FTUI, KAMMI Pusat, Aktivis 97/98, Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI, BEM ITB, BEM UNJ, BEM IPB dan BEM Unpad
turut menemai pelaporan tersebut.
"Akibat tindakan sewenang-wenang kedua pejabat tersebut, negara berpotensi dirugikan lebih dari Rp 20 triliun," terang Direktur Eksekutif IRESS, Marwan Batubara (Kamis, 29/3).
Marwan mengatakan, tindakan korupsi Harunata dan Syahrial dilakukan melalui pengalihan hak pengelolaan tambang Lahat milik PT Bukit Asam (PTBA) kepada minimal 35 perusahaan swasta. Padahal, PTBA sendiri telah memperoleh ijin eksplorasi tambang Langkat secara resmi dari negara.
Tindakan pengalihan dan penjualan kuasa pertambangan (KP) yang dilakukan Harunata bersama Sahrial, kata Marwan, melanggar Keputusan Dirjen Pertambangan Umum Nomor 130K/23.01/DJP/2000 jo. Nomor 609.K/23.01/DJP/2000, sesuai Kepmen ESDM No.680K/M.PE/1997 jo. Kepmen ESDM No.812K/40/MEM/2003, yang menetapkan PTBA sebagai pemilik tunggal KW 97 PP0350. Tindakan tersebut juga melanggar Pasal 67 huruf a PP No.75 Tahun 2001 yang menetapkan bahwa KP yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat sebelum tanggal 1 Januari 2001 tetap berlaku sampai berakhirnya masa berlaku KP tersebut, dan melanggar Kepmen ESDM No.1602 Tahun 2003 dengan tidak melakukan koordinasi dengan Pemerintah Pusat dalam rangka pemberian KP dan penetapan pencadangan wilayah guna menghindari tumpang tindih wilayah kerja.
Selain itu, lanjut Marwan, keduanya juga melanggar PP No.32 Tahun 1969 tentang pelaksanaan UU No.11 Tahun 1967 tentang Pertambangan dengan tidak mengindahkan hak PTBA: Pasal 25 ayat (1) yang menyebut Pemegang KP Penyelidikan Umum yang menemukan suatu bahan galian dalam wilayah KP-nya mendapat prioritas pertama untuk memperoleh KP Pertambanagn Eksplorasi atas bahan galian tersebut; Pasal 25 ayat (2): Pemegang KP Eksplorasi yang telah membuktikan hasil baik eksplorasinya atas bahan galian yang disebutkan dalam KP-nya mendapat hak tunggal untuk memperoleh KP Eksploitasi atas bahan galian tersebut.
Adapun potensi kerugian negara akibat perbuatan melanggar hukum kedua pejabat tersebut, menurut Marwan, adalah terancamnya kelangsungan operasi dan rencana kerja PTBA yang berujung pada berkurangnya penerimaan negara di kemudian hari, terutama berupa pajak, retribusi dan deviden, sesuai Pasal 28 ayat (1) UU No.11 Tahun 1967.
"Hilangnya dana sebesar Rp 206 miliar atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan PTBA untuk kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi dan pemberdayaan masyarakat. Hilangnya potensi pendapatan PTBA dari kegiatan eksploitasi cadangan batubara wilayah tambang Lahat yang volumenya sebesar 220 juta ton dengan nilai US$ 2,2 miliar atau sekitar Rp 20 triliun," urai Marwan lagi.
Kasus tambang Lahat sebenarnya telah dilaporkan kepada Pengadilan Negeri Lahat dan telah diproses hingga tingkat Mahkamah Agung. Namun hingga saat ini belum ada keputusan tetap dari pengadilan.
"Sebagai pelapor kami meminta agar KPK dapat segera menyelidiki kasus ini agar kerugian negara dapat dikurangi, sebab sejumlah perusahaan yang memperoleh KP dari Bupati telah mulai melakukan kegiatan operasi penambangan di wilayah tambang Lahat," demikian Marwan.
[dem]
BERITA TERKAIT: